Mudik
-pulang kampung saat Lebaran bagi para perantau adalah moment yang sangat
ditunggu. Betapa pun macet dan ribet tetap tidak menyurutkan niat untuk pulang.
Lalu kata pulang menjadi sangat puitis dan magis pada moment ini. Muatan
sentimental pada pulang terasa begitu tebal. Akan berbeda dengan pulang pada
saat cuti kerja atau keperluan lainnya.
Di
Solo, romatisme dan keindahan moment pulang pada tahun ini ditangkap oleh
Pemerintah Kota dengan mengajak para seniman papan atas yang dimiliki kota ini,
alumnus ISI Surakarta dan Sanggar Suryo Sumirat untuk menyuguhkan sesuatu yang
layak untuk dirindui dan diapresiasi. Moment perjumpaan dan kumpul bareng
keluarga itu adalah: Bankdhan Neng Solo,
Nonton Sendratari Ramayana.
Dipanggungkan
pada 19-21 Juli 2015 di Benteng Vastenburg. Benteng yang dibangun pada 1745,
yang semula bernama Grootmoeigheid itu
menjadi lokasi yang sungguh ideal. Karena di samping berada di pusat kota yang
sangat mudah dijangkau, tempat itu sangat luas untuk menampung penonton. Secara
politis, pemkot Solo cerdas menggunakan benteng tua tersebut. Karena dari 442
benteng di Indonesia, hanya Benteng Vastenburg saja yang menjadi milik swasta. Keprihatinan
dan kekhawatiran pemerintah kota terhadap kondisi benteng yang mangkrak tak
terurus dan nyaris terlupakan itu, telah mendasari kebijakan untuk
memanfaatkannya secara baik untuk kepentingan publik. Kabarnya, benteng
tersebut sedang diupayakan untuk bisa kembali menjadi milik masyarakat sebagai
warisan dan jejak sejarah perjalanan bangsa ini.
Temboknya
yang kokoh dan pohon-pohon beringin dengan sulur-sulurnya tetap diupayakan
lestari. Bahkan dalam Sendratari Ramayana ini, tembok dan pohon itu justru
menjadi properti panggung yang alami dan bernilai artistik tinggi. Agung Kusumo
Widagdo sebagai sutradara dan para kreator yang terlibat dalam kerja seni ini
sangat tangkas memanfaatkan semua yang ada di area benteng.
Benteng
yang berusia hampir tiga abad yang biasanya terkesan beku, malam itu dipecah
oleh suara gamelan yang ditata-rancang Dedek Wahyudi. Seling-padu antara
aransemen gamelan klasik dengan modern (saksofon, biola, djembe dan drum)
sangat pas berada pada tempatnya. Kadang suara gamelan itu terdengar begitu
purba dan tua, kadang kocak dan sigrak.
Endah
Laras dengan vocalnya yang khas, membuka, melagukan sinopsis Ramayana. Sinta
yang mempunyai nafsu memiliki sedikit kebablasan, mengingini kijang kencana
yang sebenarnya adalah muslihat Kalamarica untuk upaya pemenuhan nafsu yang
lain, yang tak kalah mengerikan. Yaitu nafsu Rahwana yang mengingini Sinta si
pembawa Pulung kekuasaan dan
kekayaan. Nafsu-nafsu ingin memiliki yang tak semestinya itu telah menyebabkan
petaka.
Ketika
Laksmana yang tengah mengemban tugas dari Rama -kakaknya untuk menjaga Sinta
justru dicurigai oleh Sinta sendiri bahwa Laksmana menginginkan kematian
kakaknya agar ia bisa menyunting Sinta. Sebuah tuduhan yang gegabah.
Adegan
yang sungguh mengagumkan adalah datangnya pasukan kera. Mereka melompat dari cecabang
pohon beringin, bergelantungan pada utas tali yang disamarkan di antara sulur-sulurnya,
begitu atraktif. Kematangan konsep dan penyutradaraan yang pantas dijempoli.
Paduan panggung alam dan kreasi yang cerdas.
Improvisasi-improvisasi
yang ditampilkan dalam sendratari ini, tak jauh-jauh dari apa yang terjadi pada
negeri ini. Misalnya ketika Anoman berhasil menyusup ke Taman Soka di mana Dewi
Sinta disekap, lalu Anoman tertangkap oleh Indrajit dan kawanan Buta rambut
gimbal prajurit Alengka, Anoman menyuap para penangkapnya. Para Buta itu amat
girang lantas dengan ringan berbalik membantu Anoman yang telah menyuapnya, dan
mereka mengkhianati junjungannya.
Lalu
Api. Dalam sendratari ini, api benar-benar dihadirkan. Ketika Anoman sekali
lagi dikalahkan dan dibelenggu tangannya, lalu pasukan kera tengah bertempur
dengan prajurit Alengka, tiba-tiba sorot lampu mengarah di dinding benteng yang
tinggi. Di sana Anoman berdiri. Ia dibakar, lalu membakar. Tiba-tiba saja sudah
ada api di mana-mana. Di panggung itu penuh dengan api sungguhan. Dan itu
mengingatkan pada negeri ini. Begitu mudah dan cepat api menyala tak pada
tempatnya.
Peperangan
terus berlangsung, kemenangan berada di pihak Rama. Lalu pertemuan antara Rama
dan Sinta yang diupayakan dengan pertumpahan darah itu akhirnya terjadi. Tetapi
faktanya, Rama justru menolak Sinta, karena ia bersyakwasangka. Rama dilanda
curiga dan memertanyakan kesucian Sinta.
Oleh
prajurit-prajuritnya, Rama diprovokasi untuk menguji kesucian Sinta dengan membakar
diri. Sekali lagi, api menjadi wacana. Pada
klimaks inilah, masuk improvisasi yang cukup keren (meski membelokkan pakem
Ramayana). Walikota Solo, FX. Hadi Rudiyatmo hadir, melerai kericuhan itu.
Dalam hal ini, sebagai pihak luar (di luar penari Ramayana) kehadiran Walikota
menjadi mediator. Menghimbau, jangan mudah terbakar emosi, jangan mudah main
bakar. Semua bisa dirembug, dibicarakan dengan baik. Rama yang curiga, Sinta
yang ragu, pihak-pihak yang memprovokasi, hanya akan membuat negeri menuju kehancuran.
Sebuah
keputusan improvisasi yang tak sembarangan. Pesan ini sangat jelas. Datang dari
keprihatinan atas konflik yang terjadi di negeri ini. Saya sempat termenung,
bahwa jalan api (di negeri ini) hanya
sejarak lidah dan gigi, sudah ada sejak epos masyur ini digarap Walmiki.
Publikasi versi cetak: Ruang Putih, Jawa Pos 26 Juli 2015
Fotografer: Budi Santosa -Sanggar Seni Kemasan