Dengarkanlah

Minggu, 06 September 2015

Cakil Meminta Pemakluman






Cakil Juga Manusia
Koreografer : Anggono Wibowo


Salah satu kelebihan seni terletak pada abstraksinya. Sebuah penyamaran yang indah atas satu persoalan, karakter tokoh riil atau suatu kebijakan kecil maupun besar. Termasuk menertawakan dan mengkritisi diri sendiri.
Salah satu perwujudan seni yang saya curigai sebagai “sebuah penyamaran” itu adalah repertoar yang dipanggungkan di Teater Kecil ISI Surakarta, 1 September 2015. Anggono Wibowo menganggit tari “Cakil Juga Manusia”. Sebuah judul yang terkesan main-main atau hanya untuk bersenang-senang belaka.





Cakil yang adalah Buta (Raksasa) sedang menyamar menjadi manusia ini saya tebak ada dua kemungkinan. Apakah ia (cakil sebagai menusia) meminta pemakluman atas sikap yang ia ambil, atau sebuah satir bahwa manusia bisa menjadi lebih "cakil methakil" daripada Cakil itu sendiri.
Adalah Manusia-Cakil yang naksir Sembadra (Erma Widhia), perempuan halus dan cantik. Ia bertaruh untuk memenangkan hasratnya dan ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Kemudian keduanya memadu asmara laiknya sepasang manusia yang saling tertarik, lalu mereka  menempuh gairah purba hingga titik.
Tetapi tatkala Manusia-Cakil bertemu dengan keindahan dan kenikmatan lain yang diwakili tampilan tayub, maka ia tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia rengkuh semuanya tanpa sisa. Ia menggunakan aji mumpung dan tak mau melepaskan barang satu pun. Bahkan segala halangan ia singkirkan demi terpenuhi apa yang ia maui.




Manusia-Cakil memang berhasil mengambil semua. Tetapi kepuasan itu meminta tumbal nyawanya sendiri. Ia mati ketika dipertemukan dengan kesejatian dirinya, lalu diperadapkan dengan keserakahannya. Ia tak kuat menanggung kesuksesan, kejayaan dan puncak ketenaran.
Dalam pementasan malam itu, Manusia-Cakil yang diperankan oleh Anggono –Sang koreografer, tidak mengenakan kostum tari sebagai Cakil. Tetapi ia tampil laiknya manusia laki-laki yang macho. Mengenakan jins belel bersabuk kulit, telanjang dada meraga sebagai manusia dengan segala pesonanya. Dengan tata gerak yang indah dan memukau Anggono menari sebagai Cakil yang mempresentasikan perwatakan manusia.




 “Cakil Juga Manusia” sudah saya tafsir menjadi Cakil yang menyamar atau menjadi manusia. Karena cakil (buta) jelas bukan bangsa manusia. Tetapi ia meninggalkan  kecakilannnya menuju perwatakan manusia.
Nilai plus dari pemanggungan itu adalah ketika Anggono memadukan antara tari dan drama, klasik dan kontemporer bukan hanya dalam tarian dan musik (gamelan plus sinden dipadu dengan musik elektrik, saxopon, gitar berikut penyanyi yang bergaya country) tetapi juga kostum dan property panggungnya.
Tampilan tari yang halus berseling dengan goyangan tayub yang khas dengan saweran persis seperti perhelatan perkawinan di daerah pesisir. Ada dialog model interaksi orang-orang kampung. Ada canda dan pepesan bijak yang disampaikan di sela-sela tari. Ada kala ukelan tangan khas tari Jawa klasik dipadu dengan capoeira –sebuah gerak beladiri yang dikembangkan para budak Afrika di Brasil. 



Keberanian Anggono dalam bereksperimen layak diapresiasi. Menabrak pakem termasuk Cakil yang meminta pemakluman ketika menyamar menjadi manusia. Mumpung menjadi manusia, Cakil memanfaatkan sebaik-baiknya. Bukankah ini sebuah satir yang getir atas banyak hal yang dilakukan manusia-manusia? Persis di sini saya menangkap Anggono mengajak kita untuk menggeledah diri sebagai manusia ketika memperlakukan kesempatan dan impian-impian yang bisa diraihnya. []  


Fotografer : Budi Santoso (Sanggar Seni Kemasan)
Publikasi versi cetak: Ruang Putih, Jawa Pos 6 September 2015
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar