Cakil Juga Manusia
Koreografer
: Anggono Wibowo
Salah satu kelebihan seni terletak pada abstraksinya. Sebuah
penyamaran yang indah atas satu persoalan, karakter tokoh riil atau suatu
kebijakan kecil maupun besar. Termasuk menertawakan dan mengkritisi diri
sendiri.
Salah satu perwujudan seni yang saya curigai sebagai “sebuah
penyamaran” itu adalah repertoar yang dipanggungkan di Teater Kecil ISI
Surakarta, 1 September 2015. Anggono Wibowo menganggit tari “Cakil Juga Manusia”.
Sebuah judul yang terkesan main-main atau hanya untuk bersenang-senang belaka.
Cakil yang adalah Buta (Raksasa) sedang menyamar menjadi
manusia ini saya tebak ada dua kemungkinan. Apakah ia (cakil sebagai menusia)
meminta pemakluman atas sikap yang ia ambil, atau sebuah satir bahwa manusia
bisa menjadi lebih "cakil methakil" daripada Cakil itu sendiri.
Adalah Manusia-Cakil yang naksir Sembadra (Erma Widhia), perempuan
halus dan cantik. Ia bertaruh untuk memenangkan hasratnya dan ternyata tidak
bertepuk sebelah tangan. Kemudian keduanya memadu asmara laiknya sepasang
manusia yang saling tertarik, lalu mereka menempuh gairah purba hingga titik.
Tetapi tatkala Manusia-Cakil bertemu dengan keindahan dan
kenikmatan lain yang diwakili tampilan tayub, maka ia tak menyia-nyiakan
kesempatan. Ia rengkuh semuanya tanpa sisa. Ia menggunakan aji mumpung dan tak
mau melepaskan barang satu pun. Bahkan segala halangan ia singkirkan demi
terpenuhi apa yang ia maui.
Manusia-Cakil memang berhasil mengambil semua. Tetapi
kepuasan itu meminta tumbal nyawanya sendiri. Ia mati ketika dipertemukan
dengan kesejatian dirinya, lalu diperadapkan dengan keserakahannya. Ia tak kuat
menanggung kesuksesan, kejayaan dan puncak ketenaran.
Dalam pementasan malam itu, Manusia-Cakil yang diperankan
oleh Anggono –Sang koreografer, tidak mengenakan kostum tari sebagai Cakil.
Tetapi ia tampil laiknya manusia laki-laki yang macho. Mengenakan jins belel bersabuk
kulit, telanjang dada meraga sebagai manusia dengan segala pesonanya. Dengan
tata gerak yang indah dan memukau Anggono menari sebagai Cakil yang mempresentasikan
perwatakan manusia.
“Cakil Juga Manusia”
sudah saya tafsir menjadi Cakil yang menyamar atau menjadi manusia. Karena
cakil (buta) jelas bukan bangsa manusia. Tetapi ia meninggalkan kecakilannnya menuju perwatakan manusia.
Nilai plus dari pemanggungan itu adalah ketika Anggono memadukan
antara tari dan drama, klasik dan kontemporer bukan hanya dalam tarian dan
musik (gamelan plus sinden dipadu dengan musik elektrik, saxopon, gitar berikut
penyanyi yang bergaya country) tetapi juga kostum dan property panggungnya.
Tampilan tari yang halus berseling dengan goyangan tayub
yang khas dengan saweran persis seperti perhelatan perkawinan di daerah pesisir.
Ada dialog model interaksi orang-orang kampung. Ada canda dan pepesan bijak
yang disampaikan di sela-sela tari. Ada kala ukelan tangan khas tari Jawa
klasik dipadu dengan capoeira –sebuah gerak beladiri yang dikembangkan para
budak Afrika di Brasil.
Keberanian Anggono dalam bereksperimen layak diapresiasi.
Menabrak pakem termasuk Cakil yang meminta pemakluman ketika menyamar menjadi
manusia. Mumpung menjadi manusia, Cakil memanfaatkan sebaik-baiknya. Bukankah
ini sebuah satir yang getir atas banyak hal yang dilakukan manusia-manusia? Persis
di sini saya menangkap Anggono mengajak kita untuk menggeledah diri sebagai
manusia ketika memperlakukan kesempatan dan impian-impian yang bisa diraihnya. []
Fotografer
: Budi Santoso (Sanggar Seni Kemasan)
Publikasi versi cetak: Ruang Putih, Jawa Pos 6 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar