Dengarkanlah

Senin, 20 Mei 2019

Metamorfosa Kupu-kupu Kuning






Tiga layar proyeksi digantung di tengah panggung berlatar serbahitam, menampilkan  video animasi tentang militer Jepang saat menginvasi Indonesia pada masa perang Asia-Pasifik 1931-1945. Gambar hidup itu bicara tentang perilaku bala tentara Jepang kepada penduduk termasuk perampasan perempuan-perempuan belia untuk dijadikan budak seks.
Musik menghentak, sesekali jeritan perempuan terdengar dari audio, membantu penonton mengimajinasikan kekejian yang sedang berlangsung di masa itu. Kemudian pelan slide animasi itu meredup ketika seorang penari masuk dari sisi kanan panggung laiknya kupu-kupu bersayap kuning ia menari, berputar bergerak cepat meliuk lalu disusul penari lain. Musik dari komposer Angger Widhi Asmoro mengiring semakin rencak ketika gambar kupu-kupu kuning satu persatu muncul berterbangan memenuhi area panggung menyatu dengan empat penari berkonde, berkostum kain batik dengan kemben dan selendang kuning.



 Tata lampu garapan Joko Sriyono menyorot fokus pada satu penari berada di atas bangku kecil, menari mempresentasikan apa yang terjadi di Ianjo (rumah bordil bikinan Jepang), lalu pelan fokus lampu bergeser pada titik lain, tempat para penari melantang bicara tentang peristiwa perkosaan dan pembungkaman pada mereka yang kemudian disebut “Ianfu”.
Persoalan Internasional
“Ianfu” sudah menajdi persoalan internasional, karena perampasan martabat perempuan itu bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi di Korea, China, Vietnam, Philipina bahkan Indo. Di mana ada desingan peluru, di situ perempuan diburu. Mulanya korban kejahatan seksual masa perang itu dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu (Ju: ikut, Gun: militer/bala tentara, Ian: penghibur, Fu: Perempuan.) jadi Jugun Ianfu adalah Perempuan Penghibur yang ikut militer. Sebutan itu dianggap secara politis melunakkan apa yang sesungguhnya terjadi. Sehingga pada tahun 2004 di Korea, pada sebuah kongres sepakat sebutan itu diganti menjadi “Ianfu” (dengan tanda petik atas: budak seks).
Di beberapa negara termasuk Indonesia tema “Ianfu” sudah menjadi garapan seni yang secara serius ditangani. Baik dalam media lukis, film atau novel. Kini di Solo, persoalan Ianfu diangkat dalam bentuk tari yang digarap oleh koreografer muda Dwi Surni Cahyaningsih. Dipentaskan pada 28 Maret 2019 di Teater Arena kompleks Taman Budaya Jawa Tengah. 
 


Sebuah Metamorfosa.
Bermula dari Serimpi Momoye yang dipentaskan di area Candi Sukuh dalam rangka Srawung Candi (2017) tari yang mengangkat isu “Ianfu” itu terus mengalami perombakan. Dari “Serimpi Momoye,” kemudian “Momoye” (dipentaskan di Pendapa Wisma Seni, Februari 2017) kemudian pada peringatan Hari Ianfu Internasional 14 Agustus 2017, Surni kembali menghadirkan dua nomor tari masing-masing berjudul: “Ianfu” dipresentasikan secara komunal, dan sebuah tari tunggal dengan judul “Kamar no: 11”.
 Judul itu dipetik dari nomor kamar dimana Militer Jepang menempatkan Mardiyem di Ianjo di Telawang, Kalimantan Selatan. Ianfu asal Yogakarta itu kemudian diberi nama: Momoye.
Kesemua nomor tari itu terinspirasi dari buku “Momoye, Mereka Memanggilku” karya kolaborasi Eka Hindra bersama Koichi Kimura yang mengulas kisah hidup Mardiyem ketika menjadi “Ransum Jepang” hingga akhirnya berjuang merebut keadilan dan menuntut tanggung jawab Jepang atas kejahatannya di masa perang. Mardiyem adalah perempuan Indonesia pertama yang bicara pada forum Internasional untuk menuntut keadilan dan pertmintaan maaf dan kompensasi dari pemerintah Jepang.
Belum puas dengan empat garapan tari sebelumnya, Surni kembali menggarap tema sama dan memberi judul: “Aburing Kupu-kupu Kuning”. Karya terbaru ini meminjam judul buku kumpulan renungan tentang hidup dan kehidupan yang disajikan dalam Bahasa Jawa oleh Romo Sindhunata (Kanisius, 1995) Saya katakan “meminjam judul” karena konten tari ini sangat berbeda dengan teks Aburing Kupu-kupu Kuning. Pengambilan judul ini hanya terhubung oleh Kupu-kupu Kuning yang merupakan simbol internasional untuk “Ianfu”.
Tetapi ada satu persoalan dari petikan judul ini. Simbol yang diangkat oleh Internasional itu lebih dimaksudkan untuk generasi pasca-Ianfu. Kupu-kupu tak pernah berhenti hidup, ia terus bermetamorfosa. Dari telor, ulat, kepompong lalu kupu-kupu adalah symbol bahwa perjuangan untuk mendapatkan keadilan itu tak akan pernah mati, akan diperjuangkan dan disikapi dari generasi ke generasi, begitu terus menerus tanpa henti. Sedangkan warna kuning adalah simbol pengharapan. Tetapi rupanya, pada nomor tari ini dimaksudkan bahwa Kupu-kupu Kuning itu adalah “Sang Ianfu” yang bermetamorfosa.
Apabila mengikuti rangkaian karya tema “Ianfu” garapan Surni yang terus mengalami “metamorfosa” (baca: perombakan) hingga menjadi Aburing Kupu-kupu Kuning itu, mestinya karya tari yang berlangsung kurang lebih satu jam dengan masa persiapan enam bulan ini tidak lagi menampilkan beberapa kosa gerak yang seharusnya sudah selesai pada nomor tari sebelumnya. Bukankah “Ianfu” sudah berubah?
Dalam sinopsis singkatnya disampaikan “Kini mereka menjadi pemberani” tetapi  eksekusi gerak yang dipilih Surni masih mempresentasikan pemerkosaan dan praktik kejahatan seksual dalam Ianjo, lalu depresi dan oleng mental, bertahan hidup di antara sinisme masyarakat yang menatapnya jijik, menganggapnya pelacur dan aib. Bukankah mereka sudah bermetamorfosa? Jika koreografer ingin flashback sejarah, saya rasa itu sudah terangkum dalam motion graphic garapan Bezita. Dalam animasi itu sudah gamblang dijelaskan.
Haruskah Surni dalam perjalanan berkarya yang mengangkat isu “Ianfu” ini terus menerus menyuguhi penonton dengan fragmen kekerasan dalam Ianjo dan masyarakat? Padahal sajian akan menjadi utuh apabila vocabulary gerak yang di-mix dengan motion graphic itu saling mengisi dan melengkapi. Mix media antara tari dan video animasi menjadi keputusan bagus, tetapi sayangnya dalam kolaborasi itu ada tumpang tindih presentasi.
Satu hal lagi, apabila Surni masih ingin berkonsentrasi menggarap tema sepenting Ianfu ini, ia harus rajin mengikuti perkembangan dunia internasional. Mestinya sudah mengacu pada kiprah dunia masa kini dalam menanggapinya. Bukan lagi bicara tentang praktik kejahatan itu, tetapi lebih pada perjuangan mendapatkan keadilan dan pemenuhan tuntutan Internasional pada Jepang. Karena jalur seni pun diyakini ampuh untuk membantu menyuarakan dan merebut apa yang sudah diperjuangkan para “Ianfu” di masa lalu. 




Mosaik Ingatan
Puncak dari pementasan tari Aburing Kupu-kupu Kuning adalah ketika vocal Safina Nadisa mengiring para penari bergantian menari secara tunggal di depan tiga layar putih yang menampilkan slide wajah-wajah perempuan Ianfu: Mardiyem (Ianfu dari Yogyakarta), Ngadirah (Gunung Kidul), Tuminah (Solo), Suharti (Blitar), Paini (Kopeng) itu beberapa saja di antara banyak ianfu yang hingga kini belum mendapat penghormatan selayaknya.
Nomor tari ditutup ketika para penari dengan gerakan lembut mengalun menyabut tusuk konde, melepas gelung rambut hingga terurai dan tusuk konde diacungkan ke atas menjadi simbol gerak perlawanan mereka. Lalu musik beralih pada ritme cepat menjadi pembangkit semangat.
Seorang penari mendekat, berdiri di depan layar putih paling lebar. Permainan lampu yang didistribusikan dari pojok atas menjadi titik keberhasilan ketika menampilkan bayangan serupa kepompong, pada sisi kanan dan kiri pelan-pelan muncul sayap berwarna kuning, lalu melebar terus melebar kemudian mengepak kuat dan disusul munculnya puluhan kupu-kupu kuning yang berterbangan memenuhi area panggung, seolah mengabarkan para Ianfu itu telah bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang terus terbang ke seluruh dunia mencari keadilan dan menunut tegaknya harkat martabat perempuan. Dalam Aburing Kupu-kupu Kuning itu penonton diundang untuk merenungkan bahwa dunia berhutang rahim pada perempuan-perempuan itu. []

 Kredit Foto: Bon Hidayat
Versi Cetak: Majalah Basis Mei-Juni 2019