Dengarkanlah

Senin, 22 Juni 2015

Mengaksarakan Tubuh, Menubuhkan Aksara



Taling Tarung
Koreografer : Boby Ari Setiawan
Kostum : Rory Wardhana
Fotografer : Daniel La








ha na ca ra ka/ da ta sa wa la /
 pa dha ja ya nya / ma ga ba tha nga
ada sebuah kisah/ terjadi pertarungan/
mereka sama-sama sakti /
akhirnya semua mati
           
Bagi mata awam, lengkung garis tebal tipis dalam aksara Jawa kemungkinan tak dilihat sebagai pesona Jawa. Tetapi, koreografer Boby Ari Setiawan melihatnya secara berbeda. Ia menangkap aksara Jawa adalah gerak hidup dan aksara bernyawa. Bentuk-bentuk itu tak sekadar aksara yang dirangkai menjadi kata lalu disusun menjadi kalimat. Aksara Jawa digarap atau dikoreografikan ke dalam sebuah gerak tradisi tari Jawa: luwes, elok, indah.
Lekuk liuk bentuk aksara Jawa menginspirasinya untuk melahirkan cipta-tari yang berjudul Taling Tarung yang dipentaskan di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, 16 Juni 2014. Dalam penggunaannya, sandangan taling tarung pada aksara Jawa, diletakkan sebagai pengapit aksara yang dikunci. Ada depan ada belakang, ada pembuka ada penutup. Saya tidak menggunakan kata aksara yang “dimatikan” oleh taling tarung, tetapi “dikunci”. Bukan dimatikan karena kenyataannya dengan diapit taling tarung, maka huruf yang diapit itu menjadi berarti. Berangkat dari pemahaman tersebut, naluri kreasi Boby beranjak. Taling Tarung diolah dengan gagah dan ditarungkan dengan membanjirnya berbagai produk dari luar yang sulit dipungkiri telah mendesak kebudayaan Nusantara tanpa kecuali, Jawa.   






Aksara, Tubuh
Bersama Voyage of Independent Ekspression, Boby menubuhkan aksara dan mengaksarakan tubuh. Musik yang mengiring pun tak melulu gamelan yang menjadi kekhasan tari Jawa. Tetapi, Taling Tarung memasukkan jenis musik lain seperti biola dan vokal yang mengucapkan hitungan dalam bahasa Jawa: ji, ro, lu, pat sampai wolu (satu, dua, tiga, empat, hingga delapan) yang berterus terang menjadi hitungan setiap gerakan.
Taling Tarung menjadi pembuktian bahwa aksara sanggup memberi ruh, dan tubuh menjadi sarana serta perantara penghampiran aksara Jawa ke dalam bentuk yang lain. Aksara yang bergerak, aksara yang bertindak. Taling Tarung menjadi pembuktian bahwa aksara Jawa tidak mati. Aksara Jawa tidak punah.
Kostum minimalis garapan Rory Wardhana menjadikan sajian Taling Tarung berkarakter kuat, yakni serba hitam. Sesekali gerakan dipadu dengan kelebatan kain kuning emas yang menjadi bagian dari gerak tari, terlihat megah dan menawan. Seperti liukan aksara Jawa, kelebatan kain tampil misterius.
Tetapi, ada beberapa bagian dari tarian yang mengalami pengulangan sehingga melahirkan rasa jenuh bahkan bosan. Terasa begitu panjang dan sedikit melelahkan. Selebihnya, Taling Tarung sebagai garapan seni bukan hanya sekadar memberi hiburan, namun ada pesan yang ingin disampaikan. Melalui jeda yang di-raga-kan oleh Cempluk Sahita dan Cahwati, aksara Jawa dalam Taling Tarung termaknai bahwa Jawa adalah mendengar dan mengerti itung-itungan.  
Pementasan Taling Tarung pada akhirnya adalah deklarasi yang reflektif agar pembelajaran kita mengenai Jawa tak selesai hanya pada aksara yang tertulis atau dibacakan. Transformasi ke raga yang bergerak mengajak kita lebih berpikiran dan berimajinasi terbuka agar keprihatinan untuk aksara Jawa tak semakin mematikan. Tari adalah pembuktian fleksibilitas Jawa yang bisa menampung dan mengungkapkan berbagai hal dengan estetika yang penuh pesona.






Sejarah
Sejenak kita mengulik sebuah legenda Ajisaka yang melatari penemuan aksara Jawa. Penciptaannya mengemban nilai-nilai filosofis dan ajaran luhur, yakni menggendong amanat, sikap ksatria, memegang teguh kejujuran, serta jiwa besar seorang pimpinan untuk mengakui kekeliruannya saat memberi perintah. Di dalam kesejarahan aksara Jawa juga menyimpan kisah tentang ke-suci-luhur-an yang mengalahkan keserakahan.
Dilihat dari sejarah, aksara Jawa yang kita kenal selama ini, berasal dari aksara Pallawa yang digunakan sekitar abad ke-4 Masehi. Pallawa adalah nama sebuah kerajaan di Hidhustan. Aksara Pallawa menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, di antaranya aksara Jawa. Berpijak dari situlah, sebagai sebuah garapan seni yang mengandung sejarah penciptaan, Taling Tarung  pantas mendapat apresiasi yang bersifat historis, estetis, edukatif.
Sejarah dan pembelajaran aksara Jawa tentunya tak hanya ada di buku atau pelajaran di kelas. Ekspresi mengerti dan mengabarkan aksara Jawa justru memukau saat disampaikan menggunakan raga yang memadukan gerak, musik, busana, suara. Tari Taling Tarung menjadi peristiwa estetis, membuka memori kita dengan peran aksara dalam peradaban manusia, yang senantiasa melalui berbagai konflik dan harmoni. Di Jawa, menggarap aksara Jawa dalam tarian seolah-olah “tandingan” dari pengenalan kita secara visual, aksara Jawa yang dikaligrafikan. Pandangan visual dapat berbeda persepsi pada saat visual bergerak, yaitu aksara sebagai tari. []


Dimuat: Jawapos, Ruang Putih, 29 Juni 2014





Tidak ada komentar:

Posting Komentar