Taling Tarung
Koreografer : Boby Ari Setiawan
Kostum : Rory Wardhana
Fotografer : Daniel La
ha na ca ra ka/ da ta sa wa la /
pa dha ja ya nya / ma ga ba tha
nga
ada sebuah kisah/ terjadi pertarungan/
mereka sama-sama sakti /
akhirnya semua mati
Bagi mata awam, lengkung garis tebal
tipis dalam aksara Jawa kemungkinan tak dilihat sebagai pesona Jawa. Tetapi, koreografer
Boby Ari Setiawan melihatnya secara berbeda. Ia menangkap aksara Jawa adalah
gerak hidup dan aksara bernyawa. Bentuk-bentuk itu tak sekadar aksara yang
dirangkai menjadi kata lalu disusun menjadi kalimat. Aksara Jawa digarap atau
dikoreografikan ke dalam sebuah gerak tradisi tari Jawa: luwes, elok, indah.
Lekuk liuk bentuk aksara Jawa
menginspirasinya untuk melahirkan cipta-tari yang berjudul Taling Tarung
yang dipentaskan di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, 16 Juni 2014. Dalam
penggunaannya, sandangan taling tarung pada aksara Jawa, diletakkan sebagai
pengapit aksara yang dikunci. Ada depan ada belakang, ada pembuka ada penutup.
Saya tidak menggunakan kata aksara yang “dimatikan” oleh taling tarung, tetapi
“dikunci”. Bukan dimatikan karena kenyataannya dengan diapit taling tarung,
maka huruf yang diapit itu menjadi berarti. Berangkat dari pemahaman tersebut,
naluri kreasi Boby beranjak. Taling Tarung diolah dengan gagah dan
ditarungkan dengan membanjirnya berbagai produk dari luar yang sulit dipungkiri
telah mendesak kebudayaan Nusantara tanpa kecuali, Jawa.
Aksara, Tubuh
Bersama Voyage of Independent
Ekspression, Boby menubuhkan aksara dan mengaksarakan tubuh. Musik yang
mengiring pun tak melulu gamelan yang menjadi kekhasan tari Jawa. Tetapi, Taling
Tarung memasukkan jenis musik lain seperti biola dan vokal yang mengucapkan
hitungan dalam bahasa Jawa: ji, ro, lu, pat sampai wolu
(satu, dua, tiga, empat, hingga delapan) yang berterus terang menjadi hitungan
setiap gerakan.
Taling Tarung
menjadi pembuktian bahwa aksara sanggup memberi ruh, dan tubuh menjadi sarana
serta perantara penghampiran aksara Jawa ke dalam bentuk yang lain. Aksara yang
bergerak, aksara yang bertindak. Taling Tarung menjadi pembuktian bahwa
aksara Jawa tidak mati. Aksara Jawa tidak punah.
Kostum minimalis garapan Rory Wardhana
menjadikan sajian Taling Tarung berkarakter kuat, yakni serba hitam.
Sesekali gerakan dipadu dengan kelebatan kain kuning emas yang menjadi bagian
dari gerak tari, terlihat megah dan menawan. Seperti liukan aksara Jawa,
kelebatan kain tampil misterius.
Tetapi, ada beberapa bagian dari
tarian yang mengalami pengulangan sehingga melahirkan rasa jenuh bahkan bosan.
Terasa begitu panjang dan sedikit melelahkan. Selebihnya, Taling Tarung
sebagai garapan seni bukan hanya sekadar memberi hiburan, namun ada pesan yang
ingin disampaikan. Melalui jeda yang di-raga-kan oleh Cempluk Sahita dan
Cahwati, aksara Jawa dalam Taling Tarung termaknai bahwa Jawa adalah
mendengar dan mengerti itung-itungan.
Pementasan Taling Tarung pada
akhirnya adalah deklarasi yang reflektif agar pembelajaran kita mengenai Jawa
tak selesai hanya pada aksara yang tertulis atau dibacakan. Transformasi ke
raga yang bergerak mengajak kita lebih berpikiran dan berimajinasi terbuka agar
keprihatinan untuk aksara Jawa tak semakin mematikan. Tari adalah pembuktian
fleksibilitas Jawa yang bisa menampung dan mengungkapkan berbagai hal dengan
estetika yang penuh pesona.
Sejarah
Sejenak kita mengulik sebuah legenda
Ajisaka yang melatari penemuan aksara Jawa. Penciptaannya mengemban nilai-nilai
filosofis dan ajaran luhur, yakni menggendong amanat, sikap ksatria, memegang
teguh kejujuran, serta jiwa besar seorang pimpinan untuk mengakui kekeliruannya
saat memberi perintah. Di dalam kesejarahan aksara Jawa juga menyimpan kisah
tentang ke-suci-luhur-an yang mengalahkan keserakahan.
Dilihat dari sejarah, aksara Jawa yang
kita kenal selama ini, berasal dari aksara Pallawa yang digunakan sekitar abad
ke-4 Masehi. Pallawa adalah nama sebuah kerajaan di Hidhustan. Aksara Pallawa
menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, di antaranya aksara Jawa.
Berpijak dari situlah, sebagai sebuah garapan seni yang mengandung sejarah
penciptaan, Taling Tarung pantas mendapat apresiasi yang bersifat
historis, estetis, edukatif.
Sejarah dan pembelajaran aksara Jawa
tentunya tak hanya ada di buku atau pelajaran di kelas. Ekspresi mengerti dan
mengabarkan aksara Jawa justru memukau saat disampaikan menggunakan raga yang
memadukan gerak, musik, busana, suara. Tari Taling Tarung menjadi
peristiwa estetis, membuka memori kita dengan peran aksara dalam peradaban
manusia, yang senantiasa melalui berbagai konflik dan harmoni. Di Jawa,
menggarap aksara Jawa dalam tarian seolah-olah “tandingan” dari pengenalan kita
secara visual, aksara Jawa yang dikaligrafikan. Pandangan visual dapat berbeda
persepsi pada saat visual bergerak, yaitu aksara sebagai tari. []
Dimuat: Jawapos, Ruang Putih, 29 Juni
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar