Tarian
bagi sebagian masyarakat bukan hanya sekadar olah tubuh atau semata dilihat
sebagai salah satu bentuk karya seni, meskipun memang benar bahwa tari adalah
salah satu ranting cecabang dari pohon seni. Tetapi ada di antaranya, tarian juga
merupakan upacara, doa-doa dan spiritualitas, tarian adalah ritual dan sembah
puja, tarian adalah nafas kehidupan, seperti ombak adalah nyawa bagi lautan.
Di
berbagai komunitas adat, tarian dengan khasanah geraknya, merupakan bagian dari
penyembahan dan pemujaan pada dzat hidup. Sebuah bentuk ucapan syukur. Di
beberapa suku di permukaan bumi, tarian adalah bentuk dialog antara manusia
sebagai pencipta budaya dengan semesta yang menjadi sumber inspirasi dan maha
memberi. Tari adalah doa yang meraga.
Kebertubuhan
tari adalah ejawantah dari ruh. Ekspresi atas suasana hati dan jalinan
pergaulan dengan kehidupan atau bahasa tubuh yang berdialog dengan semesta.
Dalam ruh seni yang meraga, ada filosofi di dalamnya, ada pengisahan yang
berguna untuk hidup seimbang.
Hampir
semua negeri di belahan dunia ini, masyarakatnya memiliki biografi menari.
Bahkan menjadi identitas sebuah Bangsa, misalnya: Salsa dari Spanyol, Tango
dari Argentina, Samba dari Afrika yang kemudian dibawa ke Brazil.
Ketika
tarian-tarian itu sangat memberi warna dan menjadi cermin kehidupan sebuah
bangsa maka menjadi wajar bila dunia memiliki sebuah hari khusus untuk
memeringatinya. World Dance Day
ditetapkan oleh UNESCO pada 1982 dan sejak 2007 Solo selalu memeringatinya,
dengan harapan agenda ini bisa mengajak warga untuk menghargai kultur dan
natur, yang pada gilirannya akan menjadi daya tarik kepada dunia untuk mengenal
kota Solo.
Seperti
tahun-tahun sebelumnya, tahun ini Solo juga memeringatinya dengan pertunjukan
kolosal: Solo 24 Jam Menari dengan mengambil tema: Tari: Nafas dan Kehidupan.
Menggandeng penari Solo Raya dan berbagai sanggar tari. Masuk di dalamnya:
Semarak Candra Kirana, Surya Sumirat, Teater Sahita, Wayang Orang RRI
Surakarta, Wayang Orang Sriwedari, mahasiswa dan pelaku seni juga grup kesenian
serta penari dari luar Solo. Dari tari klasik hingga kontempoter. Dari penari
yunior hingga senior.
Pertunjukan
kolosal ini jelas bersifat selebrasi meski tak menutup kemungkinan bagi para
pengamat atau peminat khasanah gerak tari berikut dengan kostum dan tata ruang
pendukung untuk meneliti dan mengapresiasi bahwa tari adalah ekspresi sebuah
kekuatan yang orisinal, yang berasal dari tubuh penari dengan laku seninya.
Tari bukan sekadar peragaan gerak tubuh, tetapi ada sesuatu yang akan
dicapainya di sana.
Berkerjasama
dengan ISI Surakarta, pemerintah kota Solo menghadirkan pertunjukan secara
berurutan di beberapa lokasi. Di pusat perbelanjaan, Plaza Sriwedari, sepanjang
jalan Jendral Soedirman tepatnya di Bundaran Geladag hingga depan Kantor Pos.
Dibuka 29 April 2015 pukul 06.00 ditutup 30 April 2015 pukul 06.00 di kompleks
ISI Surakarta.
Yang
digunakan aebagai salah satu lokasi panggung tari kolosal adalah sepanjang
Jalan Jendral Soedirman. Dibuka dengan aksi barongsay, disusul oleh kelompok
Tari Gunungan dari siswa siswi SMA Batik, kemudian sekelompok Raksasa atau Buta
(butuh ditata), pasukan wanara atau kera dan penampilan kostum yang acap
dijumpai dalam Carnival Batik.
Berbagai
kelompok tari klasik dan kontemporer secara medle mempresentasikan tarian yang
sambut menyambut. Mengetengahkan penggalan epos Ramayana dengan diselingi
penampilan teater Sahita.
Niat
Kota Solo melalui agenda ini bukan sekadar memberi hiburan bagi warganya tetapi
juga memberi pendidikan serta mengenalkan generasi sekarang pada budaya dan
kreativitas yang sangat memengaruhi pembentukan jati diri sebuah bangsa.
Tetapi,
pada acara malam hari itu, hujan merinai lalu kemudian menjadi deras disertai
angin dan kilatan petir. Rupanya hujan turut merayakan Hari Tari Dunia sehingga
ketika pagelaran tari itu belum tuntas dan Walikota Solo menyampaikan
sambutannya di lokasi panggung Jl. Jendral Soedirman, penonton bergerak,
berlarian mencari tempat untuk berteduh.
Tetapi
di area ISI Surakarta, meskipun hujan acara tersebut tetap berlangsung hingga
pagi karena pertunjukan diadakan di dalam gedung. Solo akan terus menari. Solo
akan tetap menari karena tari telah menjadi nafas kehidupan. []
Fotografer : Budi Santosa (Sanggar Seni Kemasan)
Jawapos, Ruang Putih, 3 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar