Dengarkanlah

Selasa, 23 Juni 2015

Tari: Nafas Kehidupan




Tarian bagi sebagian masyarakat bukan hanya sekadar olah tubuh atau semata dilihat sebagai salah satu bentuk karya seni, meskipun memang benar bahwa tari adalah salah satu ranting cecabang dari pohon seni. Tetapi ada di antaranya, tarian juga merupakan upacara, doa-doa dan spiritualitas, tarian adalah ritual dan sembah puja, tarian adalah nafas kehidupan, seperti ombak adalah nyawa bagi lautan.
Di berbagai komunitas adat, tarian dengan khasanah geraknya, merupakan bagian dari penyembahan dan pemujaan pada dzat hidup. Sebuah bentuk ucapan syukur. Di beberapa suku di permukaan bumi, tarian adalah bentuk dialog antara manusia sebagai pencipta budaya dengan semesta yang menjadi sumber inspirasi dan maha memberi. Tari adalah doa yang meraga. 


Kebertubuhan tari adalah ejawantah dari ruh. Ekspresi atas suasana hati dan jalinan pergaulan dengan kehidupan atau bahasa tubuh yang berdialog dengan semesta. Dalam ruh seni yang meraga, ada filosofi di dalamnya, ada pengisahan yang berguna untuk hidup seimbang.
Hampir semua negeri di belahan dunia ini, masyarakatnya memiliki biografi menari. Bahkan menjadi identitas sebuah Bangsa, misalnya: Salsa dari Spanyol, Tango dari Argentina, Samba dari Afrika yang kemudian dibawa ke Brazil.
Ketika tarian-tarian itu sangat memberi warna dan menjadi cermin kehidupan sebuah bangsa maka menjadi wajar bila dunia memiliki sebuah hari khusus untuk memeringatinya. World Dance Day ditetapkan oleh UNESCO pada 1982 dan sejak 2007 Solo selalu memeringatinya, dengan harapan agenda ini bisa mengajak warga untuk menghargai kultur dan natur, yang pada gilirannya akan menjadi daya tarik kepada dunia untuk mengenal kota Solo.


Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini Solo juga memeringatinya dengan pertunjukan kolosal: Solo 24 Jam Menari dengan mengambil tema: Tari: Nafas dan Kehidupan. Menggandeng penari Solo Raya dan berbagai sanggar tari. Masuk di dalamnya: Semarak Candra Kirana, Surya Sumirat, Teater Sahita, Wayang Orang RRI Surakarta, Wayang Orang Sriwedari, mahasiswa dan pelaku seni juga grup kesenian serta penari dari luar Solo. Dari tari klasik hingga kontempoter. Dari penari yunior hingga senior.
Pertunjukan kolosal ini jelas bersifat selebrasi meski tak menutup kemungkinan bagi para pengamat atau peminat khasanah gerak tari berikut dengan kostum dan tata ruang pendukung untuk meneliti dan mengapresiasi bahwa tari adalah ekspresi sebuah kekuatan yang orisinal, yang berasal dari tubuh penari dengan laku seninya. Tari bukan sekadar peragaan gerak tubuh, tetapi ada sesuatu yang akan dicapainya di sana.
Berkerjasama dengan ISI Surakarta, pemerintah kota Solo menghadirkan pertunjukan secara berurutan di beberapa lokasi. Di pusat perbelanjaan, Plaza Sriwedari, sepanjang jalan Jendral Soedirman tepatnya di Bundaran Geladag hingga depan Kantor Pos. Dibuka 29 April 2015 pukul 06.00 ditutup 30 April 2015 pukul 06.00 di kompleks ISI Surakarta.


Yang digunakan aebagai salah satu lokasi panggung tari kolosal adalah sepanjang Jalan Jendral Soedirman. Dibuka dengan aksi barongsay, disusul oleh kelompok Tari Gunungan dari siswa siswi SMA Batik, kemudian sekelompok Raksasa atau Buta (butuh ditata), pasukan wanara atau kera dan penampilan kostum yang acap dijumpai dalam Carnival Batik.
Berbagai kelompok tari klasik dan kontemporer secara medle mempresentasikan tarian yang sambut menyambut. Mengetengahkan penggalan epos Ramayana dengan diselingi penampilan teater Sahita.
Niat Kota Solo melalui agenda ini bukan sekadar memberi hiburan bagi warganya tetapi juga memberi pendidikan serta mengenalkan generasi sekarang pada budaya dan kreativitas yang sangat memengaruhi pembentukan jati diri sebuah bangsa.
Tetapi, pada acara malam hari itu, hujan merinai lalu kemudian menjadi deras disertai angin dan kilatan petir. Rupanya hujan turut merayakan Hari Tari Dunia sehingga ketika pagelaran tari itu belum tuntas dan Walikota Solo menyampaikan sambutannya di lokasi panggung Jl. Jendral Soedirman, penonton bergerak, berlarian mencari tempat untuk berteduh.
Tetapi di area ISI Surakarta, meskipun hujan acara tersebut tetap berlangsung hingga pagi karena pertunjukan diadakan di dalam gedung. Solo akan terus menari. Solo akan tetap menari karena tari telah menjadi nafas kehidupan. []




Fotografer : Budi Santosa (Sanggar Seni Kemasan)
Jawapos, Ruang Putih, 3 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar