Dengarkanlah

Selasa, 20 Oktober 2015

Trontong Award, Ikhtiar Menolak Lupa



 (Sebuah penghormatan dari Forum Mikul Dhuwur Mendhem Jero untuk Master Trontong Solo.)
Sebuah pementasan laiknya satu tubuh. Masing-masing personil di dalamnya memiliki peran berbeda tetapi saling dukung dan saling melengkapi. Satu bagian tak lebih penting dari yang lain, semua berjalan sesuai fungsinya.
Dan malam itu, 10 Oktober 2015 di gedung Teater Kecil ISI Surakarta, adalah malam pengakuan. Merupakan wujud apresiasi dan ucapan terimakasih atas dedikasi seseorang yang selama ini turut menyukseskan berbagai pementasan teater, musik dan tari di Solo. Dia adalah Henky S. Rivai. Pria sepuh, pendiam, yang tidak pernah berada di atas panggung namun kreatifitas dan kecerdasannya dalam olah Pencahayaan, selalu mewarnai panggung.



Master Trontong Solo
Sebutan Master Trontong Solo diberikan kepada Rivai oleh para seniman dan budayawan Solo karena mereka tahu betul bagaimana Rivai bekerja, mengupayakan tata-cahaya panggung agar maksimal sementara pendanaan sering kali tidak berbanding lurus dengan target hasil yang ingin dicapai. Maka di sinilah “kesaktian” Rivai terbukti. Kepiawaiannya dalam menerjemahkan art yang diingini tim pemanggung sudah tidak diragukan lagi. Ia tidak ragu menggunakan trontong (kaleng bekas) untuk mewujudkan gagasannya dalam hal per-lampu-an. Kaleng bekas susu disulap Rivai menjadi media spotlight yang menakjubkan. Bahkan ia berani memadukan trontong dengan teknik tata lampu berteknologi tinggi. Hal itulah yang mendasari pengambilan nama “Trontong Award” sebagai penanda penghormatan itu.



Forum Mikul Dhuwur Mendhem Jero
Seperti nama Forum-nya: Mikul Dhuwur Mendhem Jero, yang dalam Bahasa Indonesia berarti memberi penghormatan setinggi-tingginya, telah berikhtiar menolak lupa dan memberi pengakuan atas peran dan sumbangsih seorang Rivai yang lebih dari 20 tahun telah “nglamponi” dan turut menentukan cita rasa panggung dalam setiap pementasan mereka. Sebuah peran sepi puja-puji tetapi tidak kalah berarti. Kerap “mrucut” dari pengamatan para pengulas dan kritikus seni pertunjukan.
Maka, pada malam penyerahan “Trontong Award” itu, acara dikemas dengan sebuah pementasan istimewa oleh para pelaku seni di Solo, yang khusus didedikasikan untuk Rivai. Dibuka oleh teater tari Sahita yang salah satu personilnya (Atik) adalah istri Rivai si Master Trontong. “Perempuan-perempuan tua” datang membawa teplok (lampu minyak) menggendong gulungan tikar pandan. Dengan gerak tari serta tembang yang diselingi humor khas Sahita, mereka menyinggung tentang perlunya memberi pengakuan dan tak melupakan jasa tukang nglamponi yang tahun depan sudah memasuki masa pensiun.    


Penghormatan melalui puisi disampaikan oleh Dedek Witranto yang disusul persembahan  musik etnik dan lagu nan magis dari Gondrong Gunarto dan rekan. Sebuah repertoar “Rasa Gundah Geometris” disajikan Eko Supendi dan teater tari Studio Taksu dengan kostum serbaputih. Sebuah koreo yang lebih banyak menggunakan hentakan tangan dan kaki berirama sebagai tabuh bagi tubuh tari mereka. Tata lampu yang diatur sedemikian rupa mengantar para penari taksu merajai panggung dengan gerakan kaku bak robot canggung. Kadang kelogetan seperti ulat, kadang geleparan seperti terkena serangan ayan. Namun secara keseluruhan karya itu sangat memukau. Begitu indah dan puitis.   




Pada jeda pementasan, diselingi slide testimoni dari beberapa pelaku seni tentang totalitas dan kreatifitas Rivai dalam bidang tata-cahaya. Dipuncaki penyerahan “Trontong Award” oleh budayawan Solo: Bapak Ardus M. Sawega. Tak selesai sampai di situ karena kemudian penonton dipersilakan melanjutkan menikmati tapilan penuh humor Wayang Gendhut dengan mengambil tema “Mencari Wahyu Trontong” di pelataran gedung teater kecil yang banyak menggunakan penerangan tinthir dan lampu trontong.

 
Malam semakin larut ketika banyak harapan dinaikkan agar Master Trontong Solo, tetap meruang dengan tata pencahayaannya meski secara formal ia telah pensiun sebagai pegawai Taman Budaya Jawa Tengah. Tetap arif serta gembira menurunkan kecerdasan dan kreatifitasnya kepada generasi muda.
Terimakasih Pak Rivai, karena kreatifitasmu, setiap pementasan menjadi sangat berkesan dan penuh warna. Semoga di masa pensiun bapak, hari-hari tetap bersinar dan menyinari panggung dunia. []    




Fotografer: Budi Santosa

Perjumpaan Antara Yang Lalu dan Kini Dalam Teater






 Judul               : Plin-Plan
Naskah           : Suharyoso SK.
Fotografer       : Budhi Santosa 

             Harus diakui bahwa tragedi kemanusiaan yang terjadi 50 tahun lalu di negeri ini, masih menyisakan banyak persoalan. Hujatan dan pembelaan terhadap ideologi sebuah partai “terlarang” yang pernah tumbuh subur di negeri ini bersirebut ruang linimasa. Diperkuat dengan pro dan kontra wacana presiden yang mengemban kewajiban untuk secara resmi meminta maaf kepada rakyat atas peristiwa itu.
            Potret inilah yang ditangkap oleh KAGAMA Surakarta (keluarga alumni UGM) unit seni dan budaya yang kemudian membeberkan kegelisahan itu dalam sebuah karya teater dengan judul “Plin-Plan” dipentaskan pada 8 Oktober 2015 di Teater Arena Taman Budaya Jawatengah. Naskah garapan Suharyoso SK ini menghimpun pemain-pemain senior yang kesemuanya sudah usia pensiun berkolaborasi dengan yunior yang masih berstatus mahasiswa.




            Awalnya, imajinasi saya ditarik pada problematik sosial di kota besar yang menjangkit negeri ini, yaitu maraknya gelandangan dan orang-orang marginal atau dimarginalkan. Segerombolan pengamen masuk menyanyikan lagu dangdut menuju sebuah lokasi di mana sekelompok warga mengais hidup. Mereka bermukim di bantaran rel kereta api, di emperan toko dan pasar-pasar, juga penjual Koran “penguasa” perempatan jalan di bawah lampu merkuri.
Tetapi kemudian, ada lompatan dalam tangkapan saya ketika mereka mulai berkonflik, mengaitkan masa lalu dengan masa kini. Bahwa ternyata mereka adalah para korban sebuah peristiwa kelam, dan mereka ngeri untuk kembali ke kampung halaman karena bagi mereka itu sama artinya dengan menjemput kematian. 
            Ada beberapa karakter yang terbentuk di sana. Adalah Kayat seorang mantan propagandis partai, yang selamat dan tetap mencoba menerapkan asas sama rata sama rasa dalam komunitas gelandangan itu. Ada mantan algojo yang kemudian memilih bisu dan gila sebab kuat menanggung rasa bersalah. Ada janda satu anak yang suaminya dibunuh di depan matanya. Ada sebuah keluarga biasa dengan satu anak yang lari dari kampung karena ketakutan oleh pembantaian di kampungnya. Ada tokoh yang tetap tegas dengan garis perjuangannya yaitu kemerdekaan sesungguhnya. 
 Plin-Plan menjadi sejenis pilihan yang saya curigai sebagai oportunis jika menyimak sebuah pandangan Kayat bahwa politik adalah upaya memertahankan hidup dan menyelamatkan diri. Termasuk upaya cuci tangan atas propaganda yang pernah dia lakukan di masa di ketika dusun mereka dalam kemelut. 
Ketika karya tercipta, tentu ada sesuatu yang melatarinya. Tragedi 50 tahun lalu dalam teater ini telah menyebabkan pecahnya garis darah. Kacaunya sebuah silsilah. Silang sengkarut keluarga yang berujung pada inces tanpa sengaja. 





Durasi dalam pementasan ini cukup panjang dan sedikit melebar. Seolah kenangan atau pengalaman personal sekian puluh tahun, setelah melampaui peristiwa demi peristiwa termasuk era reformasi, sepertinya ingin ditampung semua dalam sekali pentas.
Namun perlu diakui bahwa pilihan mereka untuk berteater kembali saat berada di usia pensiun bukan sekadar romantisme usia senja. Tetapi lebih merupakan seni menanggapi hidup beranjak tua. Dengan mengadakan reuni dan perjumpaan secara intens untuk latihan teater lalu menampilkannya, adalah penghargaan hidup yang luar biasa. Sebut saja, Nining Supratmanto (Mantan kepala RRI Surakarta dan Semarang), Stefanus Sukirno (Mantan Rektor UNTAG, Semarang) dan para doctor yang terlibat dalam penggarapan musik, pencahayaan dan elemen-elemen terkait dalam pementasan ini. Tetapi gaya berteater mereka bukan melemah, justru terlihat matang dan sesuai dengan usia mereka yang berangkat dari masa lalu kemudian berada pada masa kini.  


Tentu menjadi kesulitan dan tantangan tersendiri untuk mewujudkan sebentuk apresiasi mereka terhadap hidup dan sejarah kelam bangsanya, mengingat mereka tinggal di luar kota, bahkan luar pulau untuk mengadakan latihan rutin. Selebihnya, perlu diakui bahwa energi mereka, passion mereka pada seni, nyata tetap menyala hingga senja. []