Seperti
seorang anak yang lahir dan dibentuk oleh watak lingkungan yang mengasuh,
demikian juga kelahiran sebuah karya seni tari dan musik tak mungkin lepas dari
masyarakat yang mengandung dan membesarkannya. Letak geografis, cara hidup dan
kebiasaan tanpa bisa ditolak, turut memberi kontribusi besar dalam bangunan karakter
dan corak hasil seni budaya.
Dalam
masyarakat tradisional, kesenian dianggap sebagai puncak manunggalnya cipta,
rasa dan karsa. Maka bentuk kesenian biasanya terlahir bukan hanya sebagai
suguhan estetis, tetapi ada tendensi di dalamnya yang bersumber dari kebutuhan
masyarakat setempat.
Namun
dalam perjalanannya, orisinalitas seni tradisi mengalami pergeseran dan adaptasi
baik fungsi maupun bentuk. Salah satu pembuktian itu adalah lengger Banyumas yang
sudah dipresentasikan oleh Paguyuban Seblaka Sesutane di Balai Soedjatmoko,
Solo (10 Juni 2016) usai sholat Tarawih. Seblaka Sesutane adalah paguyupan yang
digagas seniman-seniwati asal Banyumas yang tinggal di Solo dan sekitarnya. Mereka
se-visi, se-misi dalam melihat seni tradisi lengger.
Pentas
tersebut diberi tajuk “Opera Nyi Kunes” sebagai bentuk penghormatan kepada Alm. Kunes, maestro lengger, pengabdi tradisi yang
kemudian memiliki penerus bernama Kampi. Dialah yang menginspirasi Ahmad Tohari
ketika menulis tokoh legendaris: Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Naskah
opera ditulis oleh Sigit Sikeun, penata tari Cahwati dan Otniel Tasman. Tembang
digarap Muriah Budhiarti, didukung Darno Kartawi sebagai penata musik. Dengan
bahasa Panginyongan yang khas, tembang-tembang yang digubah berlirik blakasuta
–terus terang. Nakal dan sensual. Musik calung yang mengiringi begitu giras dan
dinamis seperti alam dan masyarakat dan mengasuh seni tersebut.
“Seblaka Sesutane” adalah sikap hidup dan
tanggungjawab dalam bersosial masyarakat Banyumas dan sekitarnya. Mengandung
arti: apa yang diucapkan, itu juga yang dilakukan, sikap itu tertuang dalam
gerak lengger yang dipresentasikan oleh Didik Nini Thowok, Cahwati, Otnil
Tasman dan mahasiswa ISI Surakarta.
Lengger
Banyumasan adalah totalitas dan vitalitas. Giras dan dinamis. Bukan hanya
pundak, panggul, kaki dan tangan yang menari, tetapi juga mata serta bibir.
Tetapi dalam Lengger Gunung Sari dan Bedaya Ideg yang menjadi pembuka opera tersebut,
terlihat gerakan tarinya ada pengaruh Solo. Cita rasa Solo bisa dilihat dari
ukelan tangan dan cara mengayun pundak-pinggul yang terlihat lebih halus
dibanding gerak Jaipong Siji Lima yang dipresentasikan secara tegas dan berani
oleh Didik Nini Thowok, atau Lobong Ilang oleh Cahwati dan Otnil Tasman.
Tetapi
sangat bisa dimaklumi karena para penari tersebut mengolah rasa, karsa,
cipta mereka di Sekolah Seni di Solo dan
barangkali juga karena berjarak cukup jauh dengan para maestro lengger seperti
Kunes atau Kampi.
Sepakat
dengan seniman-seniwati Banyumas tersebut, saya mengapresiasi Paguyuban Seblaka
Sesutane karena selain dengan rendah hati telah mengakui keberadaan dan
pengabdian para leluhur yang memiliki indang lengger seperti Kunes dan para
lengger penerusnya, mereka dengan gagah berani berhadapan dengan kalangan
feodal yang menganggap lengger dan bahasa Panginyongan adalah tradisi klas dua.
Mereka
menolak bahwa tradisi seni dan bahasa ibu mereka berada di bawah tradisi tari
dan bahasa yang lahir di dekat pusat kekuasaan raja-raja. Karena bagi mereka,
seni lengger adalah milik rakyat untuk rakyat. Lengger adalah egaliter.
Bagi
saya, Jaipong dan Lengger adalah ekspresi keberanian Bedaya atau Gambyong dalam
watak keseharian masyarakat agraris yang spontan dan riang.
Sebelumnya,
di tempat yang sama juga diadakan saresehan yang menghadirkan narasumber Ahmad
Tohari, Didik Nini Thowok, Halim HD dan Darno Kartawi, Budayawan dari Banyumas.
Pada diskusi itu menyinggung pergeseran lengger yang awalnya adalah sarana
upacara kesuburan dan ucap syukur setelah panen, di masa kini lengger lebih
berfungsi sebagai sarana hiburan.
Zaman
menuntut seni tradisi harus berlari mengikuti perkembangan, tanpa kecuali
lengger. Namun dalam diskusi tersebut, Ahmad Tohari mengungkap harapan agar
lengger tetap egaliter dengan iringan musik calung yang tetap nyaring bergaung.
[]
Otniel Tasman, Didik Nini Thowok dan Cahwati
Didik Nini Thowok
Fotografer : Budi Santoso
Baca postingan ini langsung ngeyoutube, pengin lihat langsung gimana gerakannya ... btw, lagunya enak banget di blog ini *eh hihi
BalasHapus