Dengarkanlah

Sabtu, 23 Juli 2016

Lengger Yang Egaliter



Seperti seorang anak yang lahir dan dibentuk oleh watak lingkungan yang mengasuh, demikian juga kelahiran sebuah karya seni tari dan musik tak mungkin lepas dari masyarakat yang mengandung dan membesarkannya. Letak geografis, cara hidup dan kebiasaan tanpa bisa ditolak, turut memberi kontribusi besar dalam bangunan karakter dan corak hasil seni budaya.
Dalam masyarakat tradisional, kesenian dianggap sebagai puncak manunggalnya cipta, rasa dan karsa. Maka bentuk kesenian biasanya terlahir bukan hanya sebagai suguhan estetis, tetapi ada tendensi di dalamnya yang bersumber dari kebutuhan masyarakat setempat.  





Namun dalam perjalanannya, orisinalitas seni tradisi mengalami pergeseran dan adaptasi baik fungsi maupun bentuk. Salah satu pembuktian itu adalah lengger Banyumas yang sudah dipresentasikan oleh Paguyuban Seblaka Sesutane di Balai Soedjatmoko, Solo (10 Juni 2016) usai sholat Tarawih. Seblaka Sesutane adalah paguyupan yang digagas seniman-seniwati asal Banyumas yang tinggal di Solo dan sekitarnya. Mereka se-visi, se-misi dalam melihat seni tradisi lengger.
Pentas tersebut diberi tajuk “Opera Nyi Kunes” sebagai bentuk penghormatan kepada  Alm. Kunes, maestro lengger, pengabdi tradisi yang kemudian memiliki penerus bernama Kampi. Dialah yang menginspirasi Ahmad Tohari ketika menulis tokoh legendaris: Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Naskah opera ditulis oleh Sigit Sikeun, penata tari Cahwati dan Otniel Tasman. Tembang digarap Muriah Budhiarti, didukung Darno Kartawi sebagai penata musik. Dengan bahasa Panginyongan yang khas, tembang-tembang yang digubah berlirik blakasuta –terus terang. Nakal dan sensual. Musik calung yang mengiringi begitu giras dan dinamis seperti alam dan masyarakat dan mengasuh seni tersebut.



 “Seblaka Sesutane” adalah sikap hidup dan tanggungjawab dalam bersosial masyarakat Banyumas dan sekitarnya. Mengandung arti: apa yang diucapkan, itu juga yang dilakukan, sikap itu tertuang dalam gerak lengger yang dipresentasikan oleh Didik Nini Thowok, Cahwati, Otnil Tasman dan mahasiswa ISI Surakarta.
Lengger Banyumasan adalah totalitas dan vitalitas. Giras dan dinamis. Bukan hanya pundak, panggul, kaki dan tangan yang menari, tetapi juga mata serta bibir. Tetapi dalam Lengger Gunung Sari dan Bedaya Ideg yang menjadi pembuka opera tersebut, terlihat gerakan tarinya ada pengaruh Solo. Cita rasa Solo bisa dilihat dari ukelan tangan dan cara mengayun pundak-pinggul yang terlihat lebih halus dibanding gerak Jaipong Siji Lima yang dipresentasikan secara tegas dan berani oleh Didik Nini Thowok, atau Lobong Ilang oleh Cahwati dan Otnil Tasman. 



Tetapi sangat bisa dimaklumi karena para penari tersebut mengolah rasa, karsa, cipta  mereka di Sekolah Seni di Solo dan barangkali juga karena berjarak cukup jauh dengan para maestro lengger seperti Kunes atau Kampi.
Sepakat dengan seniman-seniwati Banyumas tersebut, saya mengapresiasi Paguyuban Seblaka Sesutane karena selain dengan rendah hati telah mengakui keberadaan dan pengabdian para leluhur yang memiliki indang lengger seperti Kunes dan para lengger penerusnya, mereka dengan gagah berani berhadapan dengan kalangan feodal yang menganggap lengger dan bahasa Panginyongan adalah tradisi klas dua.
Mereka menolak bahwa tradisi seni dan bahasa ibu mereka berada di bawah tradisi tari dan bahasa yang lahir di dekat pusat kekuasaan raja-raja. Karena bagi mereka, seni lengger adalah milik rakyat untuk rakyat. Lengger adalah egaliter.
Bagi saya, Jaipong dan Lengger adalah ekspresi keberanian Bedaya atau Gambyong dalam watak keseharian masyarakat agraris yang spontan dan riang.  



Sebelumnya, di tempat yang sama juga diadakan saresehan yang menghadirkan narasumber Ahmad Tohari, Didik Nini Thowok, Halim HD dan Darno Kartawi, Budayawan dari Banyumas. Pada diskusi itu menyinggung pergeseran lengger yang awalnya adalah sarana upacara kesuburan dan ucap syukur setelah panen, di masa kini lengger lebih berfungsi sebagai sarana hiburan.
Zaman menuntut seni tradisi harus berlari mengikuti perkembangan, tanpa kecuali lengger. Namun dalam diskusi tersebut, Ahmad Tohari mengungkap harapan agar lengger tetap egaliter dengan iringan musik calung yang tetap nyaring bergaung. []

Otniel Tasman, Didik Nini Thowok dan Cahwati


Didik Nini Thowok



Fotografer : Budi Santoso

1 komentar:

  1. Baca postingan ini langsung ngeyoutube, pengin lihat langsung gimana gerakannya ... btw, lagunya enak banget di blog ini *eh hihi

    BalasHapus