Adeg-adeg-ku Ibu Pertiwi, Payungku Bapa angkasa
Sedulurku keblat papat, Paningalku jati wasesa
Dudu Wasesaneing manungsa, wasesaning Kang Maha Kawasa
Hastuta.. hastuti.. Rahayu, rahayu; rahayu sagung dumadi
Frasa Jawa tersebut adalah petikan doa (mantra) yang dirapal
oleh komunitas Solah Wetan dari Ponorogo di sebuah pagi di awal tahun 2016
sebagai pembuka Srawung Seni Candi (SSC) ke-12 pada 31 Desember 2015 dan 1 Januari
2016 di Kompleks Candi Sukuh, Desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar.
Panggung tidak digelar dalam area utama candi karena candi tertua
di Jawa yang ditemukan pada abad 15 pada jaman kerajaan Majapahit itu sedang
dalam renovasi. Hanya prosesi pembukaan saja yang dilakukan di gerbang pintu
utama, persis di depan relief Lingga-Yoni yang kini sudah ditutup pagar besi
demi menjaga keutuhannya.
Di sepetak tanah berumput dan bongkahan batu-batu berlumut,
panggung alam dihadirkan tanpa sekat tegas antara penampil dan penonton. Tiga
buah gunungan batu setinggi kurang lebih 3m dipacak menjadi bagiannya, sebagai
replika tiga bukit yang mengelilingi Candi Sukuh: Bukit Sukuh, Bukit Tambak dan
Bukit Pringgodani.
Dalam kepungan cemara-cemara tua dan tatapan batu-batu candi
itulah doa-doa yang menubuh dinaikkan sebagai ucap syukur atas berkah kehidupan
di tahun yang telah lalu. Melibatkan pelaku seni dari beberapa desa sekitar, juga
seniman tari dan musik dari dalam dan luar negeri. Bayu Bolot, Anna Rubio
Lambi, Melati Suryadarma, Eko Supriyanto, Gondrong Gunarto dan Fitri
Setyaningsih adalah beberapa nama yang melibati helatan budaya itu selain
komunitas seni dan sanggar tari dengan pamrih mengajak masyarakat untuk tidak
putus ingatan dengan candi.
Berbeda dengan hari pertama yang bercuaca cukup panas, hari
kedua SSC lebih sejuk. Kabut merayapi dahan-dahan cemara dan bangunan candi.
Gerimis lembut merinai tidak menyurutkan para seniman untuk tetap “manggung”
di antara seliweran kupu-kupu dan capung.
Di ketinggian antara 910m di atas permukaan air laut, Candi Sukuh
bukan hanya milik agamawan, para peneliti atau arkeolog saja, tetapi juga milik
para seniman-budayawan dan yang terpenting adalah milik masyarakat luas.
Upaya para penghelat untuk melibatkan penduduk setempat
sangat terlihat. Gondrong Gunarto mengajak pedagang pasar, peladang dan penjual
sate untuk terlibat dalam jagongan musik. Mereka memakai baju seperti ketika
bekerja, lengkap dengan sandal jepit dan topi butut. Keistimewaan dan kekuatan
SSC terletak pada semangatnya menyertakan masyarakat awam untuk ambil
bagian.
Jagongan musik itu sangat natural. Tukang sate Nyenggaki -mengisi
jeda permainan musik gamelan dengan mengucap persis ketika ia menawarkan
dagangannya: “Tee… sateee.. sate ayam sate kelinci.. teeeeee…sate.” sungguh
cerdas dan menghibur. Bahkan sepeda motor milik penjual es krim wall’s pun
turut masuk sambil memutar lagu khas penanda dagangannya. Hal itu memancing
budayawan Suprapto Suryadharma -salah satu penggagas SSC, untuk mengajak para penari
professional untuk naik ke atas panggung, menari spontanitas laiknya acara
tayuban. Tergabungnya para pedagang dalam jagongan musik arahan Gongun itu adalah
pembuktian bahwa para seniman tidak selayaknya jaim atau mengklaim diri
ekslusiv.
Selain tari yang kental dengan tradisi, SSC juga menyajikan
tari modern. Bersama Solo Dance Studio, Eko Supriyanto menata tari dengan
menonjolkan teknik gerak dan kepenarian yang menggambarkan individualitas
ketika hidup manusia dikendalikan gadget. Berkostum resmi setelan hitam nan
keren dan gaun seksi mereka menari dengan sebelah tangan bergandengan, tetapi
tangan yang lain memegang ponsel dan mata mereka terus menatap layarnya. Eko
menyatire hidup yang terlanjur keranjingan teknologi, yang turut membentuk
generasi serbatanggung dan cuek. Kehidupan normal menjadi tidak normal, yang
tidak normal menjadi normal.
Satu lagi yang menarik dalam SSC adalah pembagian seribu
bibit tanaman cengkeh yang menjadi agenda tetap. Setiap yang hadir boleh
membawa pulang bibit tanaman maksimal 3 buah. Sebagai symbol bahwa semangat
berbagi adalah ruh dari kehidupan itu sendiri dan kita semua diajak untuk
menuju jantung candi, di mana ketika tindakan didasari cinta kasih Illahi, ber-ilmu
pengetahuan dan sadar peradaban, maka kehidupan akan terbentuk indah
lestari. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar