Dengarkanlah

Sabtu, 23 Juli 2016

Mudik, Tari dan Gerakan Berpasar





 
Nungki Nur Cahyani "Gray"




Bisa dipastikan hampir semua daerah di belahan bumi ini memiliki Pasar. Sebuah ajang percakapan dan komunikasi yang paling tinggi intensitasnya dibanding tempat publik lain. Pertemuan berskala luas yang bisa menjadi indikasi tingkat pertumbuhan ekonomi sebuah daerah. Tawar menawar antara pembeli dan pedagang, perputaran uang dan barang, persinggungan lengan sesama pengunjung tanpa rasa tersinggung adalah nafas pasar tradisional.
Ketika kekuatan lain berhasil menghadirkan pasar modern, mall dan swalayan, lalu diperparah dengan perdagangan online yang gigih, pasar tradisional mulai tersisih. Berangkat dari persoalan itu, maka, Solo sigap mengarahkan mata pada pasar tradisional. Mengajak masyarakatnya untuk sadar berpasar.
Upaya yang dilakukan untuk memupuk pasar tradisional agar tidak mawut terenggut  kekinian salah satunya adalah mengajak para pelaku seni masuk ke pasar. Secara politis, ini sebuah keberpihakan untuk melawan raksasa pemodal yang merangsek sendi vital dan bangunan penting masyaratkat.
Agenda itu terwujud dalam Festival Pesona Pasar Tradisi sebagai cara memberi peyambutan bagi pemudik tahun ini. Mengambil lokasi tiga pasar: Pasar Gede, Pasar Kembang dan Pasar Antik Triwindu (8-10 Juli 2016). Perwujudan respons Seni terhadap salah satu Pilar Ekonomi yang pantas diapresiasi.
Dalam kehadirannya, para seniman tidak menggusur pedagang demi kegenitan sebuah panggung. Tetapi mereka tetap menampilkan performance dengan serius dan bagus di antara pedagang dan seliweran pengunjung.
Di pasar kembang, simbah-simbah tetap meronce kembang meski di pelataran tak jauh dari gelaran gadangannya, para penonton berjubel menyaksikan penari atau musisi tengah menampilkan karya. Di Pasar Gede, ibu-ibu kucel buruh gendong tetap santai mengiris penonton bahkan melintasi “panggung” tanpa canggung. Justru inilah pentas seni yang cantik dan menarik. Seni tak kehilangan martabat hanya karena “manggung di pasar”.
Yang tak kalah unik di Pasar Triwindu. Karena yang diperdagangkan adalah benda-benda antik, maka para pelaku seni mencurahkan kecerdasannya untuk mengekslporasi dagangan di pasar tersebut. 




Adalah koreografer Nungki Nur Cahyani dengan tari berjudul “Gray” dan Boby Ari Setiawan yang menari di pendapa dan lorong-lorong pasar nan eksotik, menjamah benda-benda dagangan bahkan menggunakannya sebagai properti. Kostum yang dikenakan pun, kostum keseharian seperti saat berkunjung ke pasar.
Persentuhan antara benda antik dan gerak penari itu mencairkan kekakuan, menghapus batas antara pedagang, penonton dan penari. Para pedagang tetap duduk di kiosnya saat penari melintasi mereka.







Bahkan Galih Naga Sena yang bermusik untuk mengiringi Boby menari, ia menggunakan alat musik dagangan yang ada di pasar itu. Secara spontan Galih mendatangi pedagang yang tengah duduk di sudut kiosnya, lalu meminjam gamelan usur berdebu. Pedagang itu langsung mengangguk mengiyakan saat Galih memilihnya.
Juga koper kulit jaman kolonial, radio transistor, sepeda kumbang, peti dan dingklik tua,  digunakan sebagai peranti saat Boby menubuhkan aksara Jawa bersama anak balitanya, Alfatehq Clovis Indrawan (4 tahun). Perkawinan antara aksara Jawa yang dieksplorasi dengan benda antik tersebut melahirkan daya magis juga romantisme sebuah jaman, membawa penonton untuk meruang menembus waktu. 

 Bobby, Fatehq dan Galih "Silaturahmi Aksara"




Pasar Triwindu sudah menjadi salah satu tempat para seniman berekspresi sejak penataan kota satu dekade lalu. Dibangun oleh Mangkunegara II dengan nama Windujenar. Baru ketika peringatan 24 tahun jabatan, Pasar Windujenar diganti menjadi Tri (3) Windu (8). menyatu dengan koridor Ngarsapura yang cantik, pedestrian ramah pejalan kaki dilengkapi dengan bangku taman yang nyaman disinggahi.
Dengan dihadirkannya perkawinan antara seni dengan salah satu pilar ekonomi, pada momen Bakdan Neng Solo tahun ini, diharapkan pengunjung semakin akrab dengan pasar tradisional sehingga mampu melahirkan rasa kangen untuk kembali bersua, mengunjungi dan turut mendenyutkan jantungnya. Dan Solo akan selalu riang menunggu kehadiran pemudik dengan memberi penyambutan secara unik! []     

Kredit Foto:
Penari : Nungki Cur Cahyani (fotografer Budhi Santosa)
Penari : Boby Ari Setiawan (dokumentasi Boby)
Lokasi: Pasar Triwindu

Publikasi Versi Cetak: Ruang Putih Jawa Pos, 17 Juli 2016



Lengger Yang Egaliter



Seperti seorang anak yang lahir dan dibentuk oleh watak lingkungan yang mengasuh, demikian juga kelahiran sebuah karya seni tari dan musik tak mungkin lepas dari masyarakat yang mengandung dan membesarkannya. Letak geografis, cara hidup dan kebiasaan tanpa bisa ditolak, turut memberi kontribusi besar dalam bangunan karakter dan corak hasil seni budaya.
Dalam masyarakat tradisional, kesenian dianggap sebagai puncak manunggalnya cipta, rasa dan karsa. Maka bentuk kesenian biasanya terlahir bukan hanya sebagai suguhan estetis, tetapi ada tendensi di dalamnya yang bersumber dari kebutuhan masyarakat setempat.  





Namun dalam perjalanannya, orisinalitas seni tradisi mengalami pergeseran dan adaptasi baik fungsi maupun bentuk. Salah satu pembuktian itu adalah lengger Banyumas yang sudah dipresentasikan oleh Paguyuban Seblaka Sesutane di Balai Soedjatmoko, Solo (10 Juni 2016) usai sholat Tarawih. Seblaka Sesutane adalah paguyupan yang digagas seniman-seniwati asal Banyumas yang tinggal di Solo dan sekitarnya. Mereka se-visi, se-misi dalam melihat seni tradisi lengger.
Pentas tersebut diberi tajuk “Opera Nyi Kunes” sebagai bentuk penghormatan kepada  Alm. Kunes, maestro lengger, pengabdi tradisi yang kemudian memiliki penerus bernama Kampi. Dialah yang menginspirasi Ahmad Tohari ketika menulis tokoh legendaris: Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Naskah opera ditulis oleh Sigit Sikeun, penata tari Cahwati dan Otniel Tasman. Tembang digarap Muriah Budhiarti, didukung Darno Kartawi sebagai penata musik. Dengan bahasa Panginyongan yang khas, tembang-tembang yang digubah berlirik blakasuta –terus terang. Nakal dan sensual. Musik calung yang mengiringi begitu giras dan dinamis seperti alam dan masyarakat dan mengasuh seni tersebut.



 “Seblaka Sesutane” adalah sikap hidup dan tanggungjawab dalam bersosial masyarakat Banyumas dan sekitarnya. Mengandung arti: apa yang diucapkan, itu juga yang dilakukan, sikap itu tertuang dalam gerak lengger yang dipresentasikan oleh Didik Nini Thowok, Cahwati, Otnil Tasman dan mahasiswa ISI Surakarta.
Lengger Banyumasan adalah totalitas dan vitalitas. Giras dan dinamis. Bukan hanya pundak, panggul, kaki dan tangan yang menari, tetapi juga mata serta bibir. Tetapi dalam Lengger Gunung Sari dan Bedaya Ideg yang menjadi pembuka opera tersebut, terlihat gerakan tarinya ada pengaruh Solo. Cita rasa Solo bisa dilihat dari ukelan tangan dan cara mengayun pundak-pinggul yang terlihat lebih halus dibanding gerak Jaipong Siji Lima yang dipresentasikan secara tegas dan berani oleh Didik Nini Thowok, atau Lobong Ilang oleh Cahwati dan Otnil Tasman. 



Tetapi sangat bisa dimaklumi karena para penari tersebut mengolah rasa, karsa, cipta  mereka di Sekolah Seni di Solo dan barangkali juga karena berjarak cukup jauh dengan para maestro lengger seperti Kunes atau Kampi.
Sepakat dengan seniman-seniwati Banyumas tersebut, saya mengapresiasi Paguyuban Seblaka Sesutane karena selain dengan rendah hati telah mengakui keberadaan dan pengabdian para leluhur yang memiliki indang lengger seperti Kunes dan para lengger penerusnya, mereka dengan gagah berani berhadapan dengan kalangan feodal yang menganggap lengger dan bahasa Panginyongan adalah tradisi klas dua.
Mereka menolak bahwa tradisi seni dan bahasa ibu mereka berada di bawah tradisi tari dan bahasa yang lahir di dekat pusat kekuasaan raja-raja. Karena bagi mereka, seni lengger adalah milik rakyat untuk rakyat. Lengger adalah egaliter.
Bagi saya, Jaipong dan Lengger adalah ekspresi keberanian Bedaya atau Gambyong dalam watak keseharian masyarakat agraris yang spontan dan riang.  



Sebelumnya, di tempat yang sama juga diadakan saresehan yang menghadirkan narasumber Ahmad Tohari, Didik Nini Thowok, Halim HD dan Darno Kartawi, Budayawan dari Banyumas. Pada diskusi itu menyinggung pergeseran lengger yang awalnya adalah sarana upacara kesuburan dan ucap syukur setelah panen, di masa kini lengger lebih berfungsi sebagai sarana hiburan.
Zaman menuntut seni tradisi harus berlari mengikuti perkembangan, tanpa kecuali lengger. Namun dalam diskusi tersebut, Ahmad Tohari mengungkap harapan agar lengger tetap egaliter dengan iringan musik calung yang tetap nyaring bergaung. []

Otniel Tasman, Didik Nini Thowok dan Cahwati


Didik Nini Thowok



Fotografer : Budi Santoso

Kini dan Silam – Tradisi dan Inovasi

 Elly D Luthan "Latar Jembar"


Mereka berani keluar dari kotak. Menembus cangkang yang selama ini membungkusnya  dan sudah terlanjur mengakar. Menafsir dengan cara dan gaya yang berbeda tentang tokoh-tokoh legendaris. Ketika seniman menghadapi sebuah karya, sekali pun karya itu semasyur epos Mahabharata, bagi mereka, tetap dimungkinkan untuk digarap sesuai perkembangan seni yang tak bisa mengelak jaman yang menuntut inovatif.
Tetapi itu mustahil terjadi apabila seniman tidak berpikiran terbuka dan mengayakan dirinya dengan berbagai literatur, banyak melakukan perbandingan serta kajian tentang tari. Karya itu adalah “Gelora”, sebuah tari kontemporer yang menafsir empat tokoh berlakon tragis di epos Mahabharata. Adalah Amba, Kunti, Drupadi dan Karna dengan gelora jiwa mereka masing-masing tatkala menghayati lakon hidup yang digariskan.




Padnecwara "Abimanyu Gugur"

Amba dengan “Gelora” ketegarannya, Kunti dilanda “Gelora” tatkala bertemu anak sulungnya; Karna. Drupadi dalam “Gelora” sebagai perempuan yang menolak dihina dan dilecehkan. “Gelora” Karna tatkala ia harus tanding atas nama “rasa perwira”. Mereka mengenakan kostum kontemporer sebagaimana gerakan tarinya juga bukan jenis tari klasik Jawa nan halus serba-menatap lantai. Tetapi gerakan yang ringas dan ringkas. Kadang lembut, kadang bergulung seperti gelora ombak samudra.

 Repertoar itu disajikan oleh Migatring Troop, Yogyakarta dalam peringatan Hari Tari Dunia ke 10 di Teater Besar kompleks ISI Surakarta pada 28-29 April 2016. Sebagai pembuktian bahwa Epos karya Begawan Vyasa ini tak pernah hilang daya tarik untuk di-muda-kan.
Dalam helatan ini, setidaknya ada dua repertoar yang mengambil biang dari Epos Mahabharata. Jika Migatring Troop mengambil tokoh-tokohnya dengan nafas Modern Dance, Retno Maruti bersama Padnecwara tetap konsisten dengan olah Tari Klasiknya sebagai iktiar untuk melestarikan Budaya Jawa (Tengah). Memetik kisah tentang “Abimanyu Gugur” dalam pertempuran Baratayudha, Mpu Tari kelahiran Solo ini tetap piawai melibatkan emosi penonton dengan Langendriyan-nya. Tatkala Abimanyu menjelang ajal di tangan musuh, langendriyan a la Retno Maruti mencapai puncak keindahannya.
Diiring gending, sambil menari ia mendaras kepedihan dengan suara patah-patah seolah si Lakon benar-benar kepayahan pada detik-detik terakhir hidupnya. Saya tetap turut tersedot pedih seperti tahun 2002 lalu ketika saya menyaksikan “Abimanyu Gugur” yang dipentaskan di tempat yang sama. Saya berani mengatakan, dalam hal langendriyan, di negeri ini Retno Maruti belum ada tandingan.
Saya tidak menganggapnya usur atau kolot, tetapi justru itu tontonan pas sebagai ajakan bagi generasi teknologi tinggi ini untuk belajar olah rasa dengan cara mengenali kebudayaannya sendiri dan kebudayaan bangsa asing bukan hanya yang kini, tetapi juga yang silam.
Migatring Troop dan Padnecwara adalah salah satu bentuk penghayatan dengan cara masing-masing terhadap nilai-nilai luhur dan akar budaya seiring dengan perkembangan jamannya. Karena karya seni sangat berpengaruh pada pembentukan watak dan pembinaan mental Bangsa dalam kancah dunia.

Elly D Luthan "Latar Jembar"

Selain dari dua karya apik yang saya sandingkan tersebut, yang tak kalah menarik adalah “Latar Jembar” persembahan dari Dedi Luthan Dance Company -Jakarta dengan koreografer Elly D Luthan. “Latar Jembar” adalah penggambaran interaksi sosial masyarakat Jawa di masa ketika pelataran dengan rumah inti hanya dibatasi pintu sehingga hubungan antar-warga begitu akrab dan guyup. Hilangnya latar jembar oleh kebutuhan jaman telah melatari lahirnya karya ini. “Latar Jembar” adalah sebentuk penghargaan pada Sang Silam sebab kita harus hidup bersama Sang Kini. 

Padnecwara "Abimanyu Gugur"

Penghormatan
Pada 10 tahun Solo memperingati Hari Tari Dunia, ISI Surakarta memaksimalkan kurasi dari berbagai daerah sehingga perlu memberi bonus waktu. Dengan mengambil tema “Menyemai Rasa Semesta Raga”, tahun ini bukan 24 jam menari tetapi 36 jam (dibuka pada 28 April pukul 16.00 WIB, ditutup pada 29 April pukul 16.00 WIB kemudian pertunjukan dilanjutkan hingga pukul 00.00 WIB) Pembengkakan waktu tersebut adalah konsekuensi dari niat untuk memberi penghormatan setinggi-tingginya pada seni dan budaya yang diperuntukkan masyarakat dari lapisan mana pun tanpa kecuali.
250 penampil terpusat di Kompleks ISI Surakarta, digelar di stage yang berbeda tetapi waktu bersamaan sehingga penonton bisa memilih apakah ingin menyaksikan tari di Teater Kecil, Teater Besar, Pendapa ISI, Kantor Rektorat atau pelataran Kampus ISI.
Selain pementasan, diadakan juga Seminar Internasional, screening film dan peluncuran buku, semua tentang tari. Semoga ketika mengapresiasi tatkala dunia memilih hari khusus untuk memberi penghormatan pada seni tari, Solo semakin mantab mengenalkan kekayaan seni tradisi di kancah dunia. []


Versi Cetak : Ruang Putih Jawapos, 8 Mei 2016
Fotografer : Daniel La