Dengarkanlah

Minggu, 27 September 2015

Payung Menyongsong Dunia



         


Keanggunan sebentuk payung atau Songsong -dalam bahasa Jawa, telah membawa benda itu melintasi ruang dan waktu. Membentang dari negeri-negeri kawasan Timur hingga Barat. Memiliki biografi unik dan panjang. Kehadirannya menjadi bagian dari sejarah dan peradaban berbagai bangsa. Menjadi simbol penindasan, menjadi ukuran status sosial dan menjadi pelengkap penampilan perempuan-perempuan bangsawan. Sebelum akhirnya payung menjalani fungsinya dengan bersahaja.  



Latar belakang dan sisi historis inilah yang membuat Solo mengangkat Payung menjadi salah satu benda yang layak dirayakan secara khusus setara dengan batik, wayang, jenang juga gamelan. Seperti tahun lalu, (mungkin juga tahun-tahun yang akan datang) Taman Balekambang dipilih sebagai lokasi Festival Payung (11-13 September 2015) Sebuah taman yang pada mulanya bernama Partini Tuin atau Taman Air Partini, dan Partinah Bosch atau Hutan Partinah. Dibangun oleh KGPAA Mangkunegara VII pada 26 Oktober 1921 sebagai perwujudan cinta kasih kepada kedua putrinya. Hingga kini, patung kedua putri Mangkunegara itu masih terpacak di sana. Dulu sempat mangkrak, kemudian pada era Walikota Joko Widodo, tempat itu dibenahi, kemudian menjadi ruang publik yang ramah dan murah, juga sebagai upaya menghambat pembentukan masyarakat ahistoris. 







Selama tiga hari, di dalam taman seluas 9,8 ha itu ratusan payung beraneka aneka ragam, warna dan ukuran dari berbagai daerah di Nusantara bahkan manca negara menghiasi sekitar pepohonan dan bangku-bangku taman. Terkhusus di tepi kolam di mana patung GRAy Partinah terletak di tengahnya. Karena persis di tepi kolam itu dibentangkan panggung untuk pementasan peragaan busana dan Tari Payung dari Thailand, Tiongkok, Jepang dan Indonesia. Dengan tata lampu artisitk, patung GRAy Partinah yang duduk tenang menjadi latar para penari, tampak anggun, agung dan mistis.   


Apresiasi Solo terhadap Payung juga diwujudkan dalam lomba melukis payung, workshop pembuatan payung tradisi dari Juwiring (Klaten), Tasikmalaya, Kalibagor (Banyumas) Desain Payung China dan beberapa daerah lainnya, juga digelar Saresehan dan Fefleksi dengan tema “Di Bawah Payung Indonesia”.
Jika menilik sejarah payung, benda itu sudah hadir lebih dari 3500 tahun lalu. Sebagai bukti, kita bisa melihatnya pada karya seni dan artefak-artefak kuno yang ditemukan di Mesir, Syria, Yunani dan Tiongkok.
Adalah Tiongkok yang kemudian mengembangkan payung sebagai benda pelindung dari hujan. Payung mengalami evolusi dan terus menyongsong perkembangan demi perkembangan dunia. Pada perjalanannya kemudian payung sempat menjadi simbol feodalisme. Perangkat penanda kekuasaan.


Di Nusantara (Indonesia Pra-merdeka) dan banyak bangsa di dunia, payung (Songsong) memiliki cerita pedih. Kaum bangsawan tak bisa dipisahkan dari payung. Alih-alih bermakna bahwa mereka hadir sebagai Payung “pemayung dan pelindung”, payung justru tampil memperdalam jurang antara rakyat kecil dan penguasa. Karena seorang abdi berkewajiban repot membawa payung –songsong demi menyongsong junjungannya yang keluar dari kereta kencana. “payung pada jaman kerajaan, menjadi ciri keningratan dan kepriyayian, simbol kekuasaan dan penindasan.” Papar Heri Priyatmoko –sejarawan Solo yang menjadi pemateri dalam Saresehan dan Refleksi itu.
Dan kini payung sudah menjadi benda yang menjangkau berbagai kalangan dan lapisan. Berevolusi menjadi benda yang berfungsi tegas: memayungi dan melindungi dari sengatan sinar matahari dan guyuran air hujan. Perjalanannya yang panjang telah sampai pada tangan-tangan tak bernama, tak berkasta. []  




Fotografer: Sanggar Seni Kemasan
           


Minggu, 06 September 2015

Cakil Meminta Pemakluman






Cakil Juga Manusia
Koreografer : Anggono Wibowo


Salah satu kelebihan seni terletak pada abstraksinya. Sebuah penyamaran yang indah atas satu persoalan, karakter tokoh riil atau suatu kebijakan kecil maupun besar. Termasuk menertawakan dan mengkritisi diri sendiri.
Salah satu perwujudan seni yang saya curigai sebagai “sebuah penyamaran” itu adalah repertoar yang dipanggungkan di Teater Kecil ISI Surakarta, 1 September 2015. Anggono Wibowo menganggit tari “Cakil Juga Manusia”. Sebuah judul yang terkesan main-main atau hanya untuk bersenang-senang belaka.





Cakil yang adalah Buta (Raksasa) sedang menyamar menjadi manusia ini saya tebak ada dua kemungkinan. Apakah ia (cakil sebagai menusia) meminta pemakluman atas sikap yang ia ambil, atau sebuah satir bahwa manusia bisa menjadi lebih "cakil methakil" daripada Cakil itu sendiri.
Adalah Manusia-Cakil yang naksir Sembadra (Erma Widhia), perempuan halus dan cantik. Ia bertaruh untuk memenangkan hasratnya dan ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Kemudian keduanya memadu asmara laiknya sepasang manusia yang saling tertarik, lalu mereka  menempuh gairah purba hingga titik.
Tetapi tatkala Manusia-Cakil bertemu dengan keindahan dan kenikmatan lain yang diwakili tampilan tayub, maka ia tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia rengkuh semuanya tanpa sisa. Ia menggunakan aji mumpung dan tak mau melepaskan barang satu pun. Bahkan segala halangan ia singkirkan demi terpenuhi apa yang ia maui.




Manusia-Cakil memang berhasil mengambil semua. Tetapi kepuasan itu meminta tumbal nyawanya sendiri. Ia mati ketika dipertemukan dengan kesejatian dirinya, lalu diperadapkan dengan keserakahannya. Ia tak kuat menanggung kesuksesan, kejayaan dan puncak ketenaran.
Dalam pementasan malam itu, Manusia-Cakil yang diperankan oleh Anggono –Sang koreografer, tidak mengenakan kostum tari sebagai Cakil. Tetapi ia tampil laiknya manusia laki-laki yang macho. Mengenakan jins belel bersabuk kulit, telanjang dada meraga sebagai manusia dengan segala pesonanya. Dengan tata gerak yang indah dan memukau Anggono menari sebagai Cakil yang mempresentasikan perwatakan manusia.




 “Cakil Juga Manusia” sudah saya tafsir menjadi Cakil yang menyamar atau menjadi manusia. Karena cakil (buta) jelas bukan bangsa manusia. Tetapi ia meninggalkan  kecakilannnya menuju perwatakan manusia.
Nilai plus dari pemanggungan itu adalah ketika Anggono memadukan antara tari dan drama, klasik dan kontemporer bukan hanya dalam tarian dan musik (gamelan plus sinden dipadu dengan musik elektrik, saxopon, gitar berikut penyanyi yang bergaya country) tetapi juga kostum dan property panggungnya.
Tampilan tari yang halus berseling dengan goyangan tayub yang khas dengan saweran persis seperti perhelatan perkawinan di daerah pesisir. Ada dialog model interaksi orang-orang kampung. Ada canda dan pepesan bijak yang disampaikan di sela-sela tari. Ada kala ukelan tangan khas tari Jawa klasik dipadu dengan capoeira –sebuah gerak beladiri yang dikembangkan para budak Afrika di Brasil. 



Keberanian Anggono dalam bereksperimen layak diapresiasi. Menabrak pakem termasuk Cakil yang meminta pemakluman ketika menyamar menjadi manusia. Mumpung menjadi manusia, Cakil memanfaatkan sebaik-baiknya. Bukankah ini sebuah satir yang getir atas banyak hal yang dilakukan manusia-manusia? Persis di sini saya menangkap Anggono mengajak kita untuk menggeledah diri sebagai manusia ketika memperlakukan kesempatan dan impian-impian yang bisa diraihnya. []  


Fotografer : Budi Santoso (Sanggar Seni Kemasan)
Publikasi versi cetak: Ruang Putih, Jawa Pos 6 September 2015