Dengarkanlah

Rabu, 24 Juni 2015

Labirin Dalam Gerak dan Bunyi



Labirin
Koreografer     : Retno Sulistyorini
Fotografer       : Budi Santosa (Sanggar Seni Kemasan)




Labirin adalah tantangan dan ladang ekspolarasi. Menyusuri sebuah labirin adalah seni berpikir, seni mencari jalan keluar tatkala bertemu kebuntuan dan seni menyiasati jebakan dalam situasi yang membingungkan. Inilah yang menjadi sumber inspirasi bagi Retno Sulistyorini dalam menampilkan karya terbarunya yang dipentaskan pada 9-10 Juni 2015 di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah.   
Dalam mitologi Yunani, Labirin adalah sebuah tempat yang rumit berliku, yang dirancang oleh arsitek Daidalos untuk menyembunyikan monster Minotaur –Manusia berkepala Banteng. Setiap tahun, warga Athena harus mengirim tujuh pasang manusia muda ke Labirin tempat kediaman Minotaur. Tetapi akhirnya monster itu dibunuh oleh Theseus, pahlawan Yunani yang menyamar menjadi korban. Dalam misi itu, Theseus dibantu oleh Ariadne, putri Raja Kreta dengan memberinya sebuah pedang untuk membunuh Minotaur dan segulung benang yang harus ia urai ketika memasuki Labirin lalu dirunut, digulung ulang oleh Thesus agar bisa kembali, tidak terjebak dalam kerumitan labirin, lalu kelelahan menghadapi kebuntuan. 


Tempat yang rumit penuh teka-teki dan berbahaya itu oleh Retno ditubuhkan menjadi karya yang hening. Penonton diajak memasuki suasana panggung yang gelap. Lamat-lamat lalu menguat, secercah sinar menerangi panggung yang berlatar hitam, diiring musik seperti suara benda-benda saling berbenturan. Empat penari dengan busana stelan atas putih, bawah kelabu itu memasuki panggung dengan membelakangi penonton.
Empat penari merepresentasikan sebuah labirin yang berputar-putar dengan tubuh liat dan keseimbangan terjaga. Gerak sebelah kaki yang melingkar-lingkar, lalu tubuh berputar-putar. Nyaris sepanjang menari, tangan mereka terkunci ke belakang, saling bertaut seperti diborgol. Ada kala penari berpencar, mencari titik keluar, lalu bertemu, berkelok bersama-sama dan terjebak lagi.
Selain bentuk tari yang khas, daya pikat dalam Labirin ini salah satunya adalah bunyi-bunyi yang meruang. Konsep musikal ini terinspirasi dari bunyi-bunyi yang akrab dengan kehidupan sehari-hari, yang tanpa disadari juga berpontensi menjadi labirin. Suara pesawat, suara knalpot kendaraan yang meraung lalu meruang dari jauh kemudian mendekat dan menjauh lagi. Suara burung dan angin bertiup, bahkan bunyi keheningan yang mengiringi gerak penari dalam menaklukkan kebuntuan.
Komposisi gerak itu sangat mengandalkan kepercayaan sesama penari, sehingga raga yang terkadang berjalan mengendap saling membelakangi atau berpapas, tidak bersinggungan. Kadang beriringan, bersama-sama menempuh sudut-sudut, meningkar-lingkar lalu kelokan tajam yang didramatisasi dengan suara iringan yang mengeras dan bertempo cepat lalu berhenti mendadak.
Ada satu bagian yang sangat indah, yang saya tangkap sebagai tanggapan atas rumitnya sebuah jalan. Yaitu pada saat tangan penari saling tarik dan tubuh kedua penari itu berkelindan. Seolah dalam sebuah bentuk keteraturan mereka mencari jalan pemecahan sebuah teka-teki. Kelindan antara kebuntuan dan putaran-putaran itu digambarkan begitu misterius namun memikat bagi para pencari makna.  


Pertunjukan tari itu hanya 30 menit, tetapi cukup menguras energi bagi penontonnya. Karena paduan gerak tubuh yang liat dan musik yang melatari itu cukup berat tanpa jeda seolah tak memberi kesempatan pada penonton bahkan hanya untuk menghela nafas. Mengajak mata penonton terus menatap dan otak terus berpikir. Penonton dibawa memasuki labirin yang dihadirkan dalam tari garapannya.
Gagasan Retno untuk mentransformasi Labirin ke dalam bentuk tari sebenarnya sudah ia godhog cukup lama. Tetapi baru awal tahun ini ia menggarapnya secara serius dan menyiapkannya selama dua bulan untuk dihadirkan di hadapan publik.
Ia kaji dan renungi sebuah wilayah yang penuh jebakan dan kerumitan itu, dan diwujudkan menjadi moment artistik. Sebuah bentuk seni paduan antara gerak dan bunyi, elemen kehidupan keseharian.
Retno mengajak berkontempelasi, bahwa di dalam kehidupan manusia yang semakin dimodernkan, sangat mungkin tercipta labirin-labirin yang membuat manusia putus asa. Dan karya ini adalah tanggapan serta apresiasi Retno terhadap wilayah yang penuh teka-teki dan misteri itu. []


Selasa, 23 Juni 2015

Tari: Nafas Kehidupan




Tarian bagi sebagian masyarakat bukan hanya sekadar olah tubuh atau semata dilihat sebagai salah satu bentuk karya seni, meskipun memang benar bahwa tari adalah salah satu ranting cecabang dari pohon seni. Tetapi ada di antaranya, tarian juga merupakan upacara, doa-doa dan spiritualitas, tarian adalah ritual dan sembah puja, tarian adalah nafas kehidupan, seperti ombak adalah nyawa bagi lautan.
Di berbagai komunitas adat, tarian dengan khasanah geraknya, merupakan bagian dari penyembahan dan pemujaan pada dzat hidup. Sebuah bentuk ucapan syukur. Di beberapa suku di permukaan bumi, tarian adalah bentuk dialog antara manusia sebagai pencipta budaya dengan semesta yang menjadi sumber inspirasi dan maha memberi. Tari adalah doa yang meraga. 


Kebertubuhan tari adalah ejawantah dari ruh. Ekspresi atas suasana hati dan jalinan pergaulan dengan kehidupan atau bahasa tubuh yang berdialog dengan semesta. Dalam ruh seni yang meraga, ada filosofi di dalamnya, ada pengisahan yang berguna untuk hidup seimbang.
Hampir semua negeri di belahan dunia ini, masyarakatnya memiliki biografi menari. Bahkan menjadi identitas sebuah Bangsa, misalnya: Salsa dari Spanyol, Tango dari Argentina, Samba dari Afrika yang kemudian dibawa ke Brazil.
Ketika tarian-tarian itu sangat memberi warna dan menjadi cermin kehidupan sebuah bangsa maka menjadi wajar bila dunia memiliki sebuah hari khusus untuk memeringatinya. World Dance Day ditetapkan oleh UNESCO pada 1982 dan sejak 2007 Solo selalu memeringatinya, dengan harapan agenda ini bisa mengajak warga untuk menghargai kultur dan natur, yang pada gilirannya akan menjadi daya tarik kepada dunia untuk mengenal kota Solo.


Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini Solo juga memeringatinya dengan pertunjukan kolosal: Solo 24 Jam Menari dengan mengambil tema: Tari: Nafas dan Kehidupan. Menggandeng penari Solo Raya dan berbagai sanggar tari. Masuk di dalamnya: Semarak Candra Kirana, Surya Sumirat, Teater Sahita, Wayang Orang RRI Surakarta, Wayang Orang Sriwedari, mahasiswa dan pelaku seni juga grup kesenian serta penari dari luar Solo. Dari tari klasik hingga kontempoter. Dari penari yunior hingga senior.
Pertunjukan kolosal ini jelas bersifat selebrasi meski tak menutup kemungkinan bagi para pengamat atau peminat khasanah gerak tari berikut dengan kostum dan tata ruang pendukung untuk meneliti dan mengapresiasi bahwa tari adalah ekspresi sebuah kekuatan yang orisinal, yang berasal dari tubuh penari dengan laku seninya. Tari bukan sekadar peragaan gerak tubuh, tetapi ada sesuatu yang akan dicapainya di sana.
Berkerjasama dengan ISI Surakarta, pemerintah kota Solo menghadirkan pertunjukan secara berurutan di beberapa lokasi. Di pusat perbelanjaan, Plaza Sriwedari, sepanjang jalan Jendral Soedirman tepatnya di Bundaran Geladag hingga depan Kantor Pos. Dibuka 29 April 2015 pukul 06.00 ditutup 30 April 2015 pukul 06.00 di kompleks ISI Surakarta.


Yang digunakan aebagai salah satu lokasi panggung tari kolosal adalah sepanjang Jalan Jendral Soedirman. Dibuka dengan aksi barongsay, disusul oleh kelompok Tari Gunungan dari siswa siswi SMA Batik, kemudian sekelompok Raksasa atau Buta (butuh ditata), pasukan wanara atau kera dan penampilan kostum yang acap dijumpai dalam Carnival Batik.
Berbagai kelompok tari klasik dan kontemporer secara medle mempresentasikan tarian yang sambut menyambut. Mengetengahkan penggalan epos Ramayana dengan diselingi penampilan teater Sahita.
Niat Kota Solo melalui agenda ini bukan sekadar memberi hiburan bagi warganya tetapi juga memberi pendidikan serta mengenalkan generasi sekarang pada budaya dan kreativitas yang sangat memengaruhi pembentukan jati diri sebuah bangsa.
Tetapi, pada acara malam hari itu, hujan merinai lalu kemudian menjadi deras disertai angin dan kilatan petir. Rupanya hujan turut merayakan Hari Tari Dunia sehingga ketika pagelaran tari itu belum tuntas dan Walikota Solo menyampaikan sambutannya di lokasi panggung Jl. Jendral Soedirman, penonton bergerak, berlarian mencari tempat untuk berteduh.
Tetapi di area ISI Surakarta, meskipun hujan acara tersebut tetap berlangsung hingga pagi karena pertunjukan diadakan di dalam gedung. Solo akan terus menari. Solo akan tetap menari karena tari telah menjadi nafas kehidupan. []




Fotografer : Budi Santosa (Sanggar Seni Kemasan)
Jawapos, Ruang Putih, 3 Mei 2015

Adeging Kutha Sala, Sebuah Kado Untuk Warga Solo






Rakyat harus tahu sejarah”. Sikap berpikir Maxim Gorki yang sangat politis ini cukup menggugah kesadaran. Ia mengidealkan bahwa rakyat dari status sosial mana pun wajib mengetahui asal usul berikut peristiwa-peristiwa yang melatari keberadaan dirinya, baik pahit maupun manis. Tanpa pemahaman dan pengetahuan cukup akan sejarah diri yang tak lepas dari tempatnya ber-Diri, mustahil rakyat bisa menyintai serta bangga terhadapnya.
Rupanya, persis pada tujuan inilah perayaan hari jadi ke-270 itu, Solo menggelar sebuah acara spektakuler pada 21 Februari 2015. Upaya untuk tetap konsisten pada klaim sebagai kota budaya, sangat layak untuk diapresiasi. Bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat dan institusi dan terutama   Keraton yang dalam perhelatan ini menjadi tokoh utama, Solo melibatkan 270 seniman tari profesional dan 560 penari pendukung baik anak-anak maupun dewasa menyatu dengan warga, menyemarak di sepanjang jalan Jendral Soedirman. 
Jalan besar yang diapit bangunan-bangunan kuna dan bersejarah itu ditata menjadi panggung terbuka yang bukan hanya artistik, tetapi juga ideal. Ornamen-ormanen yang sebelumnya bertemakan perayaan Imlek -serbamerah di lokasi yang sama, sudah diganti dengan dekorasi tradisional Jawa yang didominasi batik dan seni kreasi bambu.  
Solo, tempat para maestro seni budaya memandaikan diri, mengasah daya kritis dan kreatifitasnya telah berhasil menyuguhkan peristiwa sejarah yang dihadirkan melalui pentas tari secara kolosal. Dengan koreografer Agung Kusumo Widagdo, tari yang berjudul Adeging Kutha Sala (Berdirinya Kota Solo) ini terasa begitu agung dan total. Dan yang lebih penting, peristiwa bersejarah yang divisualisasikan itu sangat mudah diterima dan ditangkap oleh awam. 



Kisah bermula ketika Keraton Kartasura diserang oleh Pasukan Sunan Kuning pada masa tahta Sri Susuhunan Paku Buwono II. Kekalahan pada pihak Kartasura itu membuat raja mengambil keputusan untuk menyingkir ke Ponorogo. Kemudian Paku Bowono II melakukan penyerangan balik dan Kartasura bisa direbut kembali meski dalam keadaan luluh lantak.
Menyadari kerajaanya luluh lantak, raja memerintah Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo untuk mencari lokasi yang akan digunakan sebagai ibu kota kerajaan yang baru. Maka, dipilihkan Desa Sala yang terletak 20 Km dari Kartasura. Di tepi sungai besar yang kelak disebut Bengawan Solo.  
Keputusan untuk berpindah lokasi dari Kartasura ke Desa Sala, adalah perjuangan dan kerja keras yang melibatkan tangan-tangan rakyat kecil. Desa kecil yang masa itu dipimpin oleh Ki Gedhe Sala, pada mulanya berupa rawa. Di situlah secara serentak dengan bergotong royong, mereka membangun ibukota kerajaan yang baru pada tahun 1745.
Maka, boyongan dalam pentas Adeging Kutha Sala ini pun diragakan seperti yang terjadi 270 tahun lalu. Paku Buwono II yang diperankan oleh Wahyu Santosa Prabowo, memimpin para prajurit dan abdi dalem lengkap dengan uba rampe, diikuti seluruh rakyatnya dengan membawa semua harta kekayaan yang tersisa. Sepasang pohon beringin, replika seperangkat gamelan, 17 macam jenang, tiga pasang loro blonyo (Pengantin Jawa). Satwa dalam bentuk patung di antaranya  kera, singa, gajah, ayam sejodoh turut diarak dari koridor Ngarsapura menuju ke titik perhelatan.
Setiap babak dalam pertunjukan itu dari mulai merintis hingga menjadi kota yang nyaman huni memberi informasi penting bahwa kota tidak dengan tiba-tiba saja menjadi “ada” seperti sedia kala, tetapi melalui perjuangan yang panjang dan berat. Rakyat tahu, pemimpin mereka akan menjamin hak hidupnya. Pemimpin tahu, bahwa sebuah kerajaan, sebuah pemerintahan tidak akan menjadi kuat dan bertahan tanpa rakyat kecil.
Sebuah kisah sejarah yang bagus untuk mengajak warga menjadi tahu bahwa antara  rakyat kecil dengan pemimpin harus ada dialektika dan rasa saling percaya. Itu menjadi modal utama ketika kota ini mulai dibangun 270 tahun yang lalu. 



         
Namun sangat disayangkan kalau pertunjukan seindah itu tidak bisa disimak dengan baik dan utuh karena pemerintah tidak menyediakan layar proyeksi yang merekam setiap babak pertunjukan sementara area sekitar panggung tak cukup menampung warga yang berduyun. Tentu akan lebih tersampaikan lagi seandainya di beberapa titik disediakan layar lebar. Sehingga warga yang tidak kebagian tempat di dekat panggung, tetap bisa menyaksikan tanpa perlu saling desak.  
Tetapi secara garis besar, adalah gagasan bagus saat pemerintah kota menghadiahi warganya di hari ulang tahun ke 270 ini dengan mengajak belajar sejarah melalui seni tari. Kecerdasan koreografer dan para seniman yang terlibat dalam menggambarkan sejarah berdirinya kota untuk masyarakat awam bisa dikatakan tepat sasaran.
Warga bukan hanya terhibur, tetapi juga menjadi paham akan sejarah kotanya. Diharapkan dengan mengenal dan mengetahui sejarah itu, warga semakin menyintai kota ini dan menumbuhkan rasa bangga serta rasa memiliki yang pada gilirannya, warga akan menjaga keamanan dan kenyamanan kota. Semoga. []

Fotografer : Daniel La (Dokumentasi Komunitas Wisma Seni)