Dengarkanlah

Senin, 23 November 2015

Puisi yang Bergaung di Gunung



Pertunjukan oleh Komunitas Lima Gunung "White Noice"


 Di ketinggian antara 1700 meter di atas permukaan Laut, kabut turun merayap menyamarkan punggung bukit dan perkebunan di desa Krandegan, desa tertinggi di Gunung Sumbing, Magelang, Jawa Tengah. Bau perdu dan belukar liar mengirim aroma kesuburan tanah penuh berkah. Beratap langit dan berberanda jurang, desa itu cukup padat penduduk. Dan di wajah setiap warga terpancar kegembiraan hidup dalam pelukan alam Sumbing yang telah melimpahi mereka dengan kekayaan yang dikandungnya. 

 
 Rombongan Peserta BWCF 2015 menuju Desa Krandegan


Serombongan peserta Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF 2015) itu menapaki jalan menanjak, memapas kabut dan hawa dingin untuk menuju sebuah tempat yang oleh penduduk setempat dinamai Omah Pertunjukan. Satu hal yang menarik dari Festival ini adalah kelindannya antara kaum intelektual dengan warga desa yang jelas memiliki hak yang sama untuk menikmati seni dan kultural. Festival ini tidak tinggal di menara gading, tetapi memiliki kesadaran bahwa kecerdasan sejati bukan hanya mumpuni dalam teori tetapi bersentuhan langsung dengan elemen-elemen kehidupan beserta masyarakat yang dibentuk dan membentuk siklus kehidupan itu sendiri, baik di gunung maupun pesisir. 
Bapak Hadi Sidomulyo (Nigel Bulluogh) 
Penerima Penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan


Agenda acara yang terpusat di Hotel Manohara, kompleks Candi Borobudur itu, mengambil tema Gunung, Bencana dan Mitos di Nusantara. Memberi penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award kepada Hadi Sidomulyo (Nigel Bulluogh, dari Inggris) atas dedikasinya dalam meneliti dan riset-risetnya tentang Majapahit dan Gunung Penanggungan sejak 1971. Acara dibuka dengan kolaborasi tari dan musik kontemporer “White Noice” dari Komuntias Lima Gunung. Arupadhatu Candi Borobudur menjadi latar panggung alam pada pementasan itu. 

 
 Suasana diskusi di Hotel Manohara


Dalam festival ini juga digelar seminar sehubungan dengan Geologi, Arkeologi, Vulkanologi dan Theologi. Sebuah upaya membangun kesadaran tentang perlunya hormat dan ngrumat gunung mengingat sebagian besar penduduk Indonesia hidup di atas cincin api yang paling aktif di dunia dan dibelit oleh jalur berapi kedua, yaitu Sabuk Alpide. Kondisi tersebut membuat Indonesia ada dalam lingkup alam yang berbahaya. Tetapi masyarakat di Gunung (termasuk G. Sumbing) selalu sanggup menatap bahwa gunung bukan si Penebar bencana, tetapi juga Sang Pemurah -pemberi kehidupan dan kemakmuran.



[atas] Jodho Kemil  [bawah] penduduk desa Krandegan


Ketika rombongan itu sampai, beberapa penduduk sudah berada di area, tempat digelarnya seni pertunjukan yang merupakan bagian dari rangkaian BWCF 2015 (12-14 November) Tak selang panjang gamelan ditabuh mengiring tubuh para penari dari desa setempat dan tari Jejer Gandrung dari Banyuwangi. Ditampilkan juga grup musik Jodho Kemil (Magelang) dan Brayat Endah Laras (Solo). 

Menikmati senja Desa Krandegan 1700 meter di atas permukaan air laut 


Semua warga membuka pintu rumah lalu keluar untuk memadu ramah dengan tamu mereka yang datang dari berbagai penjuru. Tua-muda tanpa kecuali anak-anak. Tak ada batas, tak ada sekat. Warga berdesakan dengan peserta BWCF bahkan menari bersama dengan para pengampunya: Yoke Darmawan, Romo Mudji Sutrisno, Romo Banar, Imam Muhtarom, Seno Joko Suyono adalah beberapa nama yang memiliki gagasan memberi perhatian kepada seluruh unsur kehidupan. Juga Sutanto Mendut dengan Komunitas Lima Gunung-nya (Merapi-Merbabu-Menoreh-Sumbing-Andong) yang tak lelah membangun interaksi dengan masyarakat gunung.    
Meski berbeda corak dan jenis, barangkali tentang musik, lagu dan tari adalah hal biasa bagi penduduk desa terakhir di kaki Gunung Sumbing itu, tetapi tidak halnya dengan Puisi. 

 
"Asu" Joko Pinurbo


Puisi dengan bahasa-bahasa khas dari para penyair: Joko Pinurbo, Gunawan Maryanto dan Eka Budianta malam itu digaungkan di gunung, di antara liar perdu dan batu-batu. Pekat malam dan bebintang yang sembunyi di balik awan. Secara sederhana puisi-puisi gunung itu diulurkan, lalu mengajak peserta BWCF dan warga desa Krandegan yang bersahaja untuk merayakan kehidupan. Puisi tentang kampung halaman oleh Eka Budianta, Puisi Selo Blekithi oleh Gunawan Maryanto dan puisi “Asu” Joko Pinurbo dengan bahasa lugas menyapa warga. Memberi penghiburan sekaligus memberi tawaran dalam menanggapi lakon kehidupan dengan cara yang berbeda. 
Barangkali puisi masih asing atau dianggap sebagai seni membaca saja bagi warga desa, tetapi saya melihat justru hal itu sangat perlu demi memuliakan kemanusiaan dan memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada warga dan alamnya. Dan syukurlah, puisi yang dibacakan malam itu bukan puisi yang terbungkus kata-kata rumit membingungkan. Tetapi bahasa lugas apa adanya, yang mudah dicerna dan sekali lagi: menghibur. Karena bagi saya, itu adalah esensi puisi yang sebenarnya. Memang selayaknya puisi bergaung di gunung-gunung.  

 
"White Noice" Komunitas Lima Gunung



Foto: koleksi Mendut Mendut dan Dahri Dahlan.
Publikasi versi cetak: Ruang Putih, Jawa Pos, 22 November 2015 
 

Selasa, 03 November 2015

Mahargya Sura: Mendekat Pada Inti Hidup





Wangi tajam dupa yang dibakar, mengepul membubung seiring dengan doa-doa yang dirapal oleh sesepuh Padepokan Lemah Putih: Suprapto Suryadharma pada peringatan 1 Sura di Museum Radya Pustaka (14 Oktober 2015). Semakin kental aura mistis dalam pembukaan Srawung Seni Sakral itu ketika dua penari di atas panggung beradu punggung dengan patung Ranggawarsita menaikkan puja di sisi tumpeng dan uba rampe yang tersaji. Wirid terus diuntai sebagai wujud sesembahan syukur kepada Sang Hyang Pranata Jagad atas berkah hidup setelah setahun berlalu. 



Para pelaku tari (sakral) telah memilih caranya sendiri untuk berefleksi, menandai permulaan kala menapaki waktu memasuki tahun baru. Memaparkan pengakuan bahwa laku hidup eling lan waspada dan hubungan eratnya dengan kosmis –Jagad Raya menjadi nafasnya dalam berkarya. Terus menempatkan kesadarannya terhadap kesejatian bahwa Kosmis tak bisa diceraikan dari Agama (Religiusitas), Filsafat dan Seni karena “Sang Ia” merupakan sumber ilmu pengetahuan, yang membuahkan pemahaman mendasar tentang inti hidup dan perlunya mendekatkan diri terus menerus pada Sang Sumber.
Seni, adalah “Sani” dalam Bahasa Sanskerta yang berarti pemujaan, pelayanan, permohonan atau pencarian dengan penuh rasa hormat dan kejujuran. Persis di sinilah pelaku seni tari sakral berpijak. Lewat tari, mereka mengekspresikan kebebasan sebebas nebula-nebula dan bintang-bintang yang hidup sebagai keluarga dalam galaksi-galaksi. Mengalir seperti air di sungai, bergerak seperti pepohonan yang dihembus angin, sehingga karya mereka kental spiritual dan religiusitas. Bahkan ketika ditarikan bersama-sama, kesan personal tetap tampak menandai hubungan erat antara masing-masing penari dengan semesta. Kesadaran mereka sebagai satu keluarga semesta, membawa mereka pada empati bahwa luka dalam satu keluarga akan mempengaruhi keseimbangan dan ketenteraman.


          Seperti yang dipresentasikan Elly D Luthan (istri alm. Dedy Luthan) bersama Boby Ari Setiawan dan beberapa personil dari studio taksu dalam penuangan emosi lewat “Biyung Suwung” yang begitu ekspresif. Nelangsa dan pedih. Mereka menari di atas panggung jerami yang dicecer di halaman museum. Secara elok percikan air dari jambangan batu bangka dan kembang setaman mengambang di permukaannya serta sedahan pohon kemuning dihadirkan sebagai simbol kehidupan. Ketajaman batin Elly dalam mengganggapi peristiwa kekosongan dan rasa suwung sangat terbaca di sana. Penghayatan akan pengalaman pencarian tatkala kehilangan terasa enigmatis. Bagai ibu bumi yang dikoyak dan dijarah rayah segala yang ditumbuhkannya.


          Berkelindannya pelaku seni dengan semesta terasa juga dalam “Bagaspati” karya tunggal Mugiyono Kasido. Karya kontemporer yang tidak meninggalkan akar tradisi Jawa yang kuat. Karya ini adalah bentuk apresiasi terhadap kehadiran matahari sebagai mata kosmis. Mugi  mengandalkan pengamatan batin terhadap hidup keseharian dalam laku seni-nya. “Bagaspati” adalah Ruh Matahari, Sang Bagaskara, yang bersinar di pagi hari tatkala membangunkan akar-akar tetumbuhan, hewan ternak serta segala yang meninggali bumi untuk menyambut hari. “Bagaspati” adalah kerendahatian Sang penari dalam mengakui Kosmologi sebagai bagian tertua dari pengetahuan manusia.



           Dengan mengenakan topeng masa kini, jari-jari tangan dan kaki bergerak menari seperti  misteriusnya akar yang bergerak tumbuh ketika matahari menyinari hingga kedalaman tanah. Tari ini memang sengaja dicipta untuk penyambutan tahun baru. Ia lahir dari pertanyaan mengapa penyambutan hari pertama pada tahun baru sering dilakukan malam hari? Bukankah hari baru akan ditandai dengan munculnya matahari yang mengajak untuk lekas bekerja di ladang, sawah dan kebun untuk menyapa tetumbuhan dan saling sentuh dengan alam semesta. Karya tari ini begitu reflektif dan arif. Menggambarkan posisi matahari dalam kehidupan orang Jawa khususnya petani pedesaan.
          Penubuhan Ruh yang sama juga disampaikan para penari dari berbagai kota bahkan Negara tetangga. Sebuah pengakuan kolektif bahwa kita dan alam semesta adalah satu keluarga. Maka, ketika tari sakral sebagai pemujaan, permohonan atau pencarian itu dibabarkan di halaman Museum tertua di Indonesia, yang saya rasakan adalah terhubungnya yang tak kasat mata dengan yang tampak. Bertemunya kekinian dengan yang klasik. Tergiring mengarah untuk melakukan refleksi tentang Hidup, dan terpetik sebuah tanya, siapakah manusia di hadapan semesta? []
Fotografer : Sanggar Seni Kemasan