Dengarkanlah

Minggu, 26 Juli 2015

Bakdhan neng Solo: Keprihatinan atas Negeri.





Mudik -pulang kampung saat Lebaran bagi para perantau adalah moment yang sangat ditunggu. Betapa pun macet dan ribet tetap tidak menyurutkan niat untuk pulang. Lalu kata pulang menjadi sangat puitis dan magis pada moment ini. Muatan sentimental pada pulang terasa begitu tebal. Akan berbeda dengan pulang pada saat cuti kerja atau keperluan lainnya.
Di Solo, romatisme dan keindahan moment pulang pada tahun ini ditangkap oleh Pemerintah Kota dengan mengajak para seniman papan atas yang dimiliki kota ini, alumnus ISI Surakarta dan Sanggar Suryo Sumirat untuk menyuguhkan sesuatu yang layak untuk dirindui dan diapresiasi. Moment perjumpaan dan kumpul bareng keluarga itu adalah: Bankdhan Neng Solo, Nonton Sendratari Ramayana. 



Dipanggungkan pada 19-21 Juli 2015 di Benteng Vastenburg. Benteng yang dibangun pada 1745, yang semula bernama Grootmoeigheid itu menjadi lokasi yang sungguh ideal. Karena di samping berada di pusat kota yang sangat mudah dijangkau, tempat itu sangat luas untuk menampung penonton. Secara politis, pemkot Solo cerdas menggunakan benteng tua tersebut. Karena dari 442 benteng di Indonesia, hanya Benteng Vastenburg saja yang menjadi milik swasta. Keprihatinan dan kekhawatiran pemerintah kota terhadap kondisi benteng yang mangkrak tak terurus dan nyaris terlupakan itu, telah mendasari kebijakan untuk memanfaatkannya secara baik untuk kepentingan publik. Kabarnya, benteng tersebut sedang diupayakan untuk bisa kembali menjadi milik masyarakat sebagai warisan dan jejak sejarah perjalanan bangsa ini.










Temboknya yang kokoh dan pohon-pohon beringin dengan sulur-sulurnya tetap diupayakan lestari. Bahkan dalam Sendratari Ramayana ini, tembok dan pohon itu justru menjadi properti panggung yang alami dan bernilai artistik tinggi. Agung Kusumo Widagdo sebagai sutradara dan para kreator yang terlibat dalam kerja seni ini sangat tangkas memanfaatkan semua yang ada di area benteng.
Benteng yang berusia hampir tiga abad yang biasanya terkesan beku, malam itu dipecah oleh suara gamelan yang ditata-rancang Dedek Wahyudi. Seling-padu antara aransemen gamelan klasik dengan modern (saksofon, biola, djembe dan drum) sangat pas berada pada tempatnya. Kadang suara gamelan itu terdengar begitu purba dan tua, kadang kocak dan sigrak. 



Endah Laras dengan vocalnya yang khas, membuka, melagukan sinopsis Ramayana. Sinta yang mempunyai nafsu memiliki sedikit kebablasan, mengingini kijang kencana yang sebenarnya adalah muslihat Kalamarica untuk upaya pemenuhan nafsu yang lain, yang tak kalah mengerikan. Yaitu nafsu Rahwana yang mengingini Sinta si pembawa Pulung kekuasaan dan kekayaan. Nafsu-nafsu ingin memiliki yang tak semestinya itu telah menyebabkan petaka. 





Ketika Laksmana yang tengah mengemban tugas dari Rama -kakaknya untuk menjaga Sinta justru dicurigai oleh Sinta sendiri bahwa Laksmana menginginkan kematian kakaknya agar ia bisa menyunting Sinta. Sebuah tuduhan yang gegabah.
Adegan yang sungguh mengagumkan adalah datangnya pasukan kera. Mereka melompat dari cecabang pohon beringin, bergelantungan pada utas tali yang disamarkan di antara sulur-sulurnya, begitu atraktif. Kematangan konsep dan penyutradaraan yang pantas dijempoli. Paduan panggung alam dan kreasi yang cerdas.



Improvisasi-improvisasi yang ditampilkan dalam sendratari ini, tak jauh-jauh dari apa yang terjadi pada negeri ini. Misalnya ketika Anoman berhasil menyusup ke Taman Soka di mana Dewi Sinta disekap, lalu Anoman tertangkap oleh Indrajit dan kawanan Buta rambut gimbal prajurit Alengka, Anoman menyuap para penangkapnya. Para Buta itu amat girang lantas dengan ringan berbalik membantu Anoman yang telah menyuapnya, dan mereka mengkhianati junjungannya.            
Lalu Api. Dalam sendratari ini, api benar-benar dihadirkan. Ketika Anoman sekali lagi dikalahkan dan dibelenggu tangannya, lalu pasukan kera tengah bertempur dengan prajurit Alengka, tiba-tiba sorot lampu mengarah di dinding benteng yang tinggi. Di sana Anoman berdiri. Ia dibakar, lalu membakar. Tiba-tiba saja sudah ada api di mana-mana. Di panggung itu penuh dengan api sungguhan. Dan itu mengingatkan pada negeri ini. Begitu mudah dan cepat api menyala tak pada tempatnya.






Peperangan terus berlangsung, kemenangan berada di pihak Rama. Lalu pertemuan antara Rama dan Sinta yang diupayakan dengan pertumpahan darah itu akhirnya terjadi. Tetapi faktanya, Rama justru menolak Sinta, karena ia bersyakwasangka. Rama dilanda curiga dan memertanyakan kesucian Sinta.



Oleh prajurit-prajuritnya, Rama diprovokasi untuk menguji kesucian Sinta dengan membakar diri. Sekali lagi, api menjadi wacana.  Pada klimaks inilah, masuk improvisasi yang cukup keren (meski membelokkan pakem Ramayana). Walikota Solo, FX. Hadi Rudiyatmo hadir, melerai kericuhan itu. Dalam hal ini, sebagai pihak luar (di luar penari Ramayana) kehadiran Walikota menjadi mediator. Menghimbau, jangan mudah terbakar emosi, jangan mudah main bakar. Semua bisa dirembug, dibicarakan dengan baik. Rama yang curiga, Sinta yang ragu, pihak-pihak yang memprovokasi, hanya akan membuat negeri menuju kehancuran.



Sebuah keputusan improvisasi yang tak sembarangan. Pesan ini sangat jelas. Datang dari keprihatinan atas konflik yang terjadi di negeri ini. Saya sempat termenung, bahwa jalan api (di negeri ini)  hanya sejarak lidah dan gigi, sudah ada sejak epos masyur ini digarap Walmiki.


Publikasi versi cetak: Ruang Putih, Jawa Pos 26 Juli 2015
Fotografer: Budi Santosa -Sanggar Seni Kemasan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar