Dengarkanlah

Rabu, 17 Februari 2016

Menari di Antara Batu Candi





Adeg-adeg-ku Ibu Pertiwi, Payungku Bapa angkasa
Sedulurku keblat papat, Paningalku jati wasesa
Dudu Wasesaneing manungsa, wasesaning Kang Maha Kawasa
Hastuta.. hastuti.. Rahayu, rahayu; rahayu sagung dumadi

Frasa Jawa tersebut adalah petikan doa (mantra) yang dirapal oleh komunitas Solah Wetan dari Ponorogo di sebuah pagi di awal tahun 2016 sebagai pembuka Srawung Seni Candi (SSC) ke-12 pada 31 Desember 2015 dan 1 Januari 2016 di Kompleks Candi Sukuh, Desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar.
Panggung tidak digelar dalam area utama candi karena candi tertua di Jawa yang ditemukan pada abad 15 pada jaman kerajaan Majapahit itu sedang dalam renovasi. Hanya prosesi pembukaan saja yang dilakukan di gerbang pintu utama, persis di depan relief Lingga-Yoni yang kini sudah ditutup pagar besi demi menjaga keutuhannya.
Di sepetak tanah berumput dan bongkahan batu-batu berlumut, panggung alam dihadirkan tanpa sekat tegas antara penampil dan penonton. Tiga buah gunungan batu setinggi kurang lebih 3m dipacak menjadi bagiannya, sebagai replika tiga bukit yang mengelilingi Candi Sukuh: Bukit Sukuh, Bukit Tambak dan Bukit Pringgodani. 




Dalam kepungan cemara-cemara tua dan tatapan batu-batu candi itulah doa-doa yang menubuh dinaikkan sebagai ucap syukur atas berkah kehidupan di tahun yang telah lalu. Melibatkan pelaku seni dari beberapa desa sekitar, juga seniman tari dan musik dari dalam dan luar negeri. Bayu Bolot, Anna Rubio Lambi, Melati Suryadarma, Eko Supriyanto, Gondrong Gunarto dan Fitri Setyaningsih adalah beberapa nama yang melibati helatan budaya itu selain komunitas seni dan sanggar tari dengan pamrih mengajak masyarakat untuk tidak putus ingatan dengan candi.
Berbeda dengan hari pertama yang bercuaca cukup panas, hari kedua SSC lebih sejuk. Kabut merayapi dahan-dahan cemara dan bangunan candi. Gerimis lembut merinai tidak menyurutkan para seniman untuk tetap “manggung” di antara seliweran kupu-kupu dan capung.
Di ketinggian antara 910m di atas permukaan air laut, Candi Sukuh bukan hanya milik agamawan, para peneliti atau arkeolog saja, tetapi juga milik para seniman-budayawan dan yang terpenting adalah milik masyarakat luas. 


Upaya para penghelat untuk melibatkan penduduk setempat sangat terlihat. Gondrong Gunarto mengajak pedagang pasar, peladang dan penjual sate untuk terlibat dalam jagongan musik. Mereka memakai baju seperti ketika bekerja, lengkap dengan sandal jepit dan topi butut. Keistimewaan dan kekuatan SSC terletak pada semangatnya menyertakan masyarakat awam untuk ambil bagian. 
Jagongan musik itu sangat natural. Tukang sate Nyenggaki -mengisi jeda permainan musik gamelan dengan mengucap persis ketika ia menawarkan dagangannya: “Tee… sateee.. sate ayam sate kelinci.. teeeeee…sate.” sungguh cerdas dan menghibur. Bahkan sepeda motor milik penjual es krim wall’s pun turut masuk sambil memutar lagu khas penanda dagangannya. Hal itu memancing budayawan Suprapto Suryadharma -salah satu penggagas SSC, untuk mengajak para penari professional untuk naik ke atas panggung, menari spontanitas laiknya acara tayuban. Tergabungnya para pedagang dalam jagongan musik arahan Gongun itu adalah pembuktian bahwa para seniman tidak selayaknya jaim atau mengklaim diri ekslusiv.




Selain tari yang kental dengan tradisi, SSC juga menyajikan tari modern. Bersama Solo Dance Studio, Eko Supriyanto menata tari dengan menonjolkan teknik gerak dan kepenarian yang menggambarkan individualitas ketika hidup manusia dikendalikan gadget. Berkostum resmi setelan hitam nan keren dan gaun seksi mereka menari dengan sebelah tangan bergandengan, tetapi tangan yang lain memegang ponsel dan mata mereka terus menatap layarnya. Eko menyatire hidup yang terlanjur keranjingan teknologi, yang turut membentuk generasi serbatanggung dan cuek. Kehidupan normal menjadi tidak normal, yang tidak normal menjadi normal. 




Satu lagi yang menarik dalam SSC adalah pembagian seribu bibit tanaman cengkeh yang menjadi agenda tetap. Setiap yang hadir boleh membawa pulang bibit tanaman maksimal 3 buah. Sebagai symbol bahwa semangat berbagi adalah ruh dari kehidupan itu sendiri dan kita semua diajak untuk menuju jantung candi, di mana ketika tindakan didasari cinta kasih Illahi, ber-ilmu pengetahuan dan sadar peradaban,  maka kehidupan akan terbentuk indah lestari. []