Dengarkanlah

Rabu, 29 Agustus 2018

Maskulinitas Cut Nyak Dhien



Peristiwa paling menyedihkan bagi pejuang,
adalah dipisahkannya dia  dari rakyat dan  tanah tumpah darahnya.




 Sebaris kalimat pembuka yang mampu membawa pada sebuah permenungan bahwa yang dihadapi seorang pejuang bukan hanya senjata pencabut nyawa, tetapi juga rasa cinta. Kalimat itu diucapkan oleh “Cut Nyak Dhien” di sebuah ruang remang yang hening dan harum aroma bunga melati yang tersebar di lantai panggung menambah suasana terasa magis. Persis berhadapan dengan penonton sebuah panggung kecil diselubungi kain hitam, di sisi kiri sebuah bangku kayu menyerupai perahu pada ujungnya ditutup kain hijau dan di sebelah kanan panggung seorang pemain cello tidak terpisah jauh dari spot utama panggung.
Sebuah lagu dengan iringan musik khas Nangroe Aceh terdengar, Cut Nyak yang menderita rabun dan encok duduk di bangku kayu, setelah meletakkan lampu kabut menyala temaram. Berkerudung kelabu dan bersarung lusuh. Ia mengenang sebuah masa, lalu mengisahkan sebuah hikayat yang didongengkan kepada anak-anaknya, tentang kepahlawanan seorang Datuk Makhudum Sati, lelaki Minangkabau yang menurunkan darah pejuang pada uleebalang Teuku Nanta Seutia ayah Cut Nyak Dhien.
Kisah kepahlawanan itu sudah menjadi hikayat masyur di Tanah Rencong. Tetapi Cut Nyak mempunyai lakon hidupnya sendiri yang tak kalah heroik dan mengusik kesadaran kita tentang apa itu cinta dan apa itu harga diri.
Naskah monolog dengan judul Cut Nyak Dhien itu ditulis dan diragakan sendiri dengan kuat oleh Sha Ine Febriyanti sepanjang kurang lebih 40 menit. Dipentaskan pada 6 Mei 2018 di Rumah Banjarsari, Solo. Itu adalah penampilan ke tiga setelah Bali dan Makassar. Selanjutnya Monolog Cut Nyak Dhien akan hadir di beberapa kota di antaranya, Surabaya pada 29 Mei 2018 di Balai Pemuda dan 13 Juli 2018 di Nu Art Sculpture Park, Bandung. Sebelumnya naskah monolog ditampilkan pertama kali pada 2014 di Gallery Indonesia Kaya dalam bentuk Dramatic Reading.





Dengan alur melingkar, berawal dari Cut Nyak dalam pengasingan di Sumedang, Jawa Barat kemudian menelusur masa ketika Cut Nyak dinikahkan oleh ayahnya pada usia 12 tahun. Lalu mengisahkan Teuku Ibrahim, suaminya yang pantang ditundukkan namun akhirnya gugur di medan perang.
Sedu sedan Cut Nya Dhien dalam raga Ine begitu mencekam. Ia meremas kain penutup bangku serupa perahu, sementara lampu didistribusikan dari atas kanan menembak tepat wajah yang sarat akan duka. Sebuah kehilangan yang menyentak, Cut Nyak tahu itu sebuah risiko, tetapi pantang ia menyerah. Maka ia segera mengambil alih pimpinan untuk melanjutkan perlawanan. Lalu kisah deras mengalir tentang keberanian dan kehebatan rakyat Nangroe di bawah pimpinan Cut Nyak, mereka melawan Belanda.
Sebuah layar besar menjadi latar belakang panggung ditembakkan dengan LCD player menampilkan sebuah gambar hutan, peperangan dan situasi yang sangat mendukung pementasan. Paduan audio dan visual serta musik akustik sanggup membawa penonton untuk mengimajinasikan peristiwa yang pernah terjadi pada rentang abad ke 18 ketika Kasultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir hingga awal abad 19 ketika Cut Nyak Dhien dalam pengasingan di Sumedang sebelum wafat pada tahun 1908.

Nasionalis - Maskulinitas
Cut Nyak, sebagi seorang perempuan, ia tak lalai dengan tugas sebagai istri dan ibu bagi anaknya tetapi juga menolak terbelenggu oleh patriarkhi. Ia ambil bagian dalam perjuangan dan angkat senjata untuk mengobarkan perlawanan dan pemberontakan kepada Belanda. Hebatnya, tindakan itu sangat didukung oleh suaminya bahkan ketika suaminya gugur di medan perang, ia mewariskan 250 pasukan perang terlatih.
Kemudian, pada masa dukacita yang belum habis itu, seorang laki-laki pemberani bernama Umar muncul untuk malamar dirinya, awalnya Cut Nyak Menolak, tetapi karena lelaki Umar menjamin dan menjajikan “tandem” untuk bersama-sama memimpin perlawanan dan bergerilya, maka Cut Nyak menerima dan ia menikah dengan Umar dan mengadakan perlawanan di pedalaman Meulaboh. Untuk kedua kalinya Cut Nyak kehilangan suami, karena akhirnya Umar pun gugur di medan perang.
Lalu Ine membawa kisah meliuk kembali ke awal saat monolog dibuka. Mengisah tentang kesepian seorang pejuang yang dipisahkan dan dibuang di tanah Sunda, jauh dari kampung halaman yang dicintai dan dibela dengan seluruh jiwa raganya.
Cut Nyak sebagai perempuan pejuang, tak beda dengan pejuang-pejuang laki-laki di negeri ini, yang merasakan pembuangan juga pengkhianatan. Merasakan seperti apa “Seorang Diri” dan  begitu kesepian. Seorang pemberani dan pejuang keadilan akan tetap membuat ngeri sekali pun ia seorang Perempuan, itulah  mengapa Cut Nyak harus diasingkan, ia berbahaya bagi penguasa lalim. 




Perempuan Nangroe Masa Kini
Rasanya enggan percaya kalau menyaksikan berita tentang perempuan-perempuan Nangroe Aceh di era sekarang. Di mana banyak sekali lahir peraturan-peraturan yang mengikat kebebasan perempuan. Bahkan diskriminasi itu justru didukung oleh sebagian perempuan di sana. Bukankah mestinya mengambil spirit perjuangan Cut Nyak untuk mengegakkan martabat dan keadilan, meski yang dilawan bukan lagi Bangsa lain, tetapi kekuatan lain yang mengancam eksistensi perempuan.
Ine melalui Cut Nyak Dhien mengajak kita untuk kembali melihat peran perempuan untuk Negara. Cut Nyak Dhien tak memikirkan nama besar. Tak memikirkan kedudukan dan balas budi. Ia hanya tahu, seorang pemimpin harus menjadi teuladan dalam sikap dan perjuangannya meraih keadilan dan memerangi semua yang merendahkan martabatnya. Panjang umur perjuanganmu, Cut Nya Dhien! Bahagialah Nangroe si Tanah Rencong yang telah melahirkan dan memupuk keberanianmu. []

Fotografer : Budi Santosa

Versi cetak: Saujana, Jawapos 27 Mei 2018