Peristiwa paling menyedihkan bagi
pejuang,
adalah dipisahkannya dia dari rakyat dan tanah tumpah darahnya.
Sebaris
kalimat pembuka yang mampu membawa pada sebuah permenungan bahwa yang dihadapi
seorang pejuang bukan hanya senjata pencabut nyawa, tetapi juga rasa cinta.
Kalimat itu diucapkan oleh “Cut Nyak Dhien” di sebuah ruang remang yang hening
dan harum aroma bunga melati yang tersebar di lantai panggung menambah suasana
terasa magis. Persis berhadapan dengan penonton sebuah panggung kecil
diselubungi kain hitam, di sisi kiri sebuah bangku kayu menyerupai perahu pada
ujungnya ditutup kain hijau dan di sebelah kanan panggung seorang pemain cello tidak
terpisah jauh dari spot utama panggung.
Sebuah
lagu dengan iringan musik khas Nangroe Aceh terdengar, Cut Nyak yang menderita
rabun dan encok duduk di bangku kayu, setelah meletakkan lampu kabut menyala temaram.
Berkerudung kelabu dan bersarung lusuh. Ia mengenang sebuah masa, lalu
mengisahkan sebuah hikayat yang didongengkan kepada anak-anaknya, tentang
kepahlawanan seorang Datuk Makhudum Sati, lelaki Minangkabau yang menurunkan
darah pejuang pada uleebalang Teuku Nanta Seutia ayah Cut Nyak Dhien.
Kisah
kepahlawanan itu sudah menjadi hikayat masyur di Tanah Rencong. Tetapi Cut Nyak
mempunyai lakon hidupnya sendiri yang tak kalah heroik dan mengusik kesadaran
kita tentang apa itu cinta dan apa itu harga diri.
Naskah
monolog dengan judul Cut Nyak Dhien itu ditulis dan diragakan sendiri dengan
kuat oleh Sha Ine Febriyanti sepanjang kurang lebih 40 menit. Dipentaskan pada
6 Mei 2018 di Rumah Banjarsari, Solo. Itu adalah penampilan ke tiga setelah
Bali dan Makassar. Selanjutnya Monolog Cut Nyak Dhien akan hadir di beberapa
kota di antaranya, Surabaya pada 29 Mei 2018 di Balai Pemuda dan 13 Juli 2018
di Nu Art Sculpture Park, Bandung. Sebelumnya naskah monolog ditampilkan
pertama kali pada 2014 di Gallery Indonesia Kaya dalam bentuk Dramatic Reading.
Dengan
alur melingkar, berawal dari Cut Nyak dalam pengasingan di Sumedang, Jawa Barat
kemudian menelusur masa ketika Cut Nyak dinikahkan oleh ayahnya pada usia 12
tahun. Lalu mengisahkan Teuku Ibrahim, suaminya yang pantang ditundukkan namun
akhirnya gugur di medan perang.
Sedu
sedan Cut Nya Dhien dalam raga Ine begitu mencekam. Ia meremas kain penutup
bangku serupa perahu, sementara lampu didistribusikan dari atas kanan menembak
tepat wajah yang sarat akan duka. Sebuah kehilangan yang menyentak, Cut Nyak
tahu itu sebuah risiko, tetapi pantang ia menyerah. Maka ia segera mengambil
alih pimpinan untuk melanjutkan perlawanan. Lalu kisah deras mengalir tentang
keberanian dan kehebatan rakyat Nangroe di bawah pimpinan Cut Nyak, mereka
melawan Belanda.
Sebuah
layar besar menjadi latar belakang panggung ditembakkan dengan LCD player
menampilkan sebuah gambar hutan, peperangan dan situasi yang sangat mendukung
pementasan. Paduan audio dan visual serta musik akustik sanggup membawa
penonton untuk mengimajinasikan peristiwa yang pernah terjadi pada rentang abad
ke 18 ketika Kasultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir hingga
awal abad 19 ketika Cut Nyak Dhien dalam pengasingan di Sumedang sebelum wafat
pada tahun 1908.
Nasionalis - Maskulinitas
Cut
Nyak, sebagi seorang perempuan, ia tak lalai dengan tugas sebagai istri dan ibu
bagi anaknya tetapi juga menolak terbelenggu oleh patriarkhi. Ia ambil bagian
dalam perjuangan dan angkat senjata untuk mengobarkan perlawanan dan
pemberontakan kepada Belanda. Hebatnya, tindakan itu sangat didukung oleh
suaminya bahkan ketika suaminya gugur di medan perang, ia mewariskan 250
pasukan perang terlatih.
Kemudian,
pada masa dukacita yang belum habis itu, seorang laki-laki pemberani bernama
Umar muncul untuk malamar dirinya, awalnya Cut Nyak Menolak, tetapi karena
lelaki Umar menjamin dan menjajikan “tandem” untuk bersama-sama memimpin perlawanan
dan bergerilya, maka Cut Nyak menerima dan ia menikah dengan Umar dan
mengadakan perlawanan di pedalaman Meulaboh. Untuk kedua kalinya Cut Nyak
kehilangan suami, karena akhirnya Umar pun gugur di medan perang.
Lalu
Ine membawa kisah meliuk kembali ke awal saat monolog dibuka. Mengisah tentang
kesepian seorang pejuang yang dipisahkan dan dibuang di tanah Sunda, jauh dari kampung
halaman yang dicintai dan dibela dengan seluruh jiwa raganya.
Cut
Nyak sebagai perempuan pejuang, tak beda dengan pejuang-pejuang laki-laki di
negeri ini, yang merasakan pembuangan juga pengkhianatan. Merasakan seperti apa
“Seorang Diri” dan begitu kesepian. Seorang
pemberani dan pejuang keadilan akan tetap membuat ngeri sekali pun ia seorang
Perempuan, itulah mengapa Cut Nyak harus
diasingkan, ia berbahaya bagi penguasa lalim.
Perempuan Nangroe Masa Kini
Rasanya
enggan percaya kalau menyaksikan berita tentang perempuan-perempuan Nangroe Aceh
di era sekarang. Di mana banyak sekali lahir peraturan-peraturan yang mengikat
kebebasan perempuan. Bahkan diskriminasi itu justru didukung oleh sebagian perempuan
di sana. Bukankah mestinya mengambil spirit perjuangan Cut Nyak untuk
mengegakkan martabat dan keadilan, meski yang dilawan bukan lagi Bangsa lain,
tetapi kekuatan lain yang mengancam eksistensi perempuan.
Ine
melalui Cut Nyak Dhien mengajak kita untuk kembali melihat peran perempuan
untuk Negara. Cut Nyak Dhien tak memikirkan nama besar. Tak memikirkan kedudukan
dan balas budi. Ia hanya tahu, seorang pemimpin harus menjadi teuladan dalam
sikap dan perjuangannya meraih keadilan dan memerangi semua yang merendahkan
martabatnya. Panjang umur perjuanganmu, Cut Nya Dhien! Bahagialah Nangroe si
Tanah Rencong yang telah melahirkan dan memupuk keberanianmu. []
Fotografer
: Budi Santosa
Versi cetak: Saujana, Jawapos 27 Mei 2018