Tiga layar proyeksi digantung di
tengah panggung berlatar serbahitam, menampilkan video animasi tentang militer Jepang saat menginvasi
Indonesia pada masa perang Asia-Pasifik 1931-1945. Gambar hidup itu bicara
tentang perilaku bala tentara Jepang kepada penduduk termasuk perampasan perempuan-perempuan
belia untuk dijadikan budak seks.
Musik menghentak, sesekali jeritan
perempuan terdengar dari audio, membantu penonton mengimajinasikan kekejian
yang sedang berlangsung di masa itu. Kemudian pelan slide animasi itu meredup
ketika seorang penari masuk dari sisi kanan panggung laiknya kupu-kupu bersayap
kuning ia menari, berputar bergerak cepat meliuk lalu disusul penari lain. Musik
dari komposer Angger Widhi Asmoro mengiring semakin rencak ketika gambar
kupu-kupu kuning satu persatu muncul berterbangan memenuhi area panggung
menyatu dengan empat penari berkonde, berkostum kain batik dengan kemben dan
selendang kuning.
Tata lampu garapan Joko Sriyono menyorot
fokus pada satu penari berada di atas bangku kecil, menari mempresentasikan apa
yang terjadi di Ianjo (rumah bordil bikinan Jepang), lalu pelan fokus lampu
bergeser pada titik lain, tempat para penari melantang bicara tentang peristiwa
perkosaan dan pembungkaman pada mereka yang kemudian disebut “Ianfu”.
Persoalan
Internasional
“Ianfu” sudah menajdi persoalan
internasional, karena perampasan martabat perempuan itu bukan hanya terjadi di
Indonesia, tetapi di Korea, China, Vietnam, Philipina bahkan Indo. Di mana ada
desingan peluru, di situ perempuan diburu. Mulanya korban kejahatan seksual
masa perang itu dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu (Ju: ikut, Gun:
militer/bala tentara, Ian:
penghibur, Fu: Perempuan.) jadi
Jugun Ianfu adalah Perempuan Penghibur yang ikut militer. Sebutan itu dianggap
secara politis melunakkan apa yang sesungguhnya terjadi. Sehingga pada tahun
2004 di Korea, pada sebuah kongres sepakat sebutan itu diganti menjadi “Ianfu”
(dengan tanda petik atas: budak seks).
Di beberapa negara termasuk
Indonesia tema “Ianfu” sudah menjadi garapan seni yang secara serius ditangani.
Baik dalam media lukis, film atau novel. Kini di Solo, persoalan Ianfu diangkat
dalam bentuk tari yang digarap oleh koreografer muda Dwi Surni Cahyaningsih. Dipentaskan
pada 28 Maret 2019 di Teater Arena kompleks Taman Budaya Jawa Tengah.
Sebuah
Metamorfosa.
Bermula dari Serimpi Momoye yang
dipentaskan di area Candi Sukuh dalam rangka Srawung Candi (2017) tari yang
mengangkat isu “Ianfu” itu terus mengalami perombakan. Dari “Serimpi Momoye,” kemudian “Momoye” (dipentaskan di Pendapa Wisma
Seni, Februari 2017) kemudian pada peringatan Hari Ianfu Internasional 14
Agustus 2017, Surni kembali menghadirkan dua nomor tari masing-masing berjudul:
“Ianfu” dipresentasikan secara
komunal, dan sebuah tari tunggal dengan judul “Kamar no: 11”.
Judul itu dipetik dari nomor kamar dimana Militer
Jepang menempatkan Mardiyem di Ianjo di Telawang, Kalimantan Selatan. Ianfu
asal Yogakarta itu kemudian diberi nama: Momoye.
Kesemua nomor tari itu terinspirasi
dari buku “Momoye, Mereka Memanggilku”
karya kolaborasi Eka Hindra bersama Koichi Kimura yang mengulas kisah hidup
Mardiyem ketika menjadi “Ransum Jepang” hingga akhirnya berjuang merebut
keadilan dan menuntut tanggung jawab Jepang atas kejahatannya di masa perang. Mardiyem
adalah perempuan Indonesia pertama yang bicara pada forum Internasional untuk
menuntut keadilan dan pertmintaan maaf dan kompensasi dari pemerintah Jepang.
Belum puas dengan empat garapan tari
sebelumnya, Surni kembali menggarap tema sama dan memberi judul: “Aburing
Kupu-kupu Kuning”. Karya terbaru ini meminjam judul buku kumpulan renungan tentang
hidup dan kehidupan yang disajikan dalam Bahasa Jawa oleh Romo Sindhunata
(Kanisius, 1995) Saya katakan “meminjam judul” karena konten tari ini sangat
berbeda dengan teks Aburing Kupu-kupu Kuning. Pengambilan judul ini hanya terhubung
oleh Kupu-kupu Kuning yang merupakan simbol internasional untuk “Ianfu”.
Tetapi ada satu persoalan dari
petikan judul ini. Simbol yang diangkat oleh Internasional itu lebih dimaksudkan
untuk generasi pasca-Ianfu. Kupu-kupu tak pernah berhenti hidup, ia terus
bermetamorfosa. Dari telor, ulat, kepompong lalu kupu-kupu adalah symbol bahwa
perjuangan untuk mendapatkan keadilan itu tak akan pernah mati, akan
diperjuangkan dan disikapi dari generasi ke generasi, begitu terus menerus
tanpa henti. Sedangkan warna kuning adalah simbol pengharapan. Tetapi rupanya,
pada nomor tari ini dimaksudkan bahwa Kupu-kupu Kuning itu adalah “Sang Ianfu”
yang bermetamorfosa.
Apabila mengikuti rangkaian karya tema
“Ianfu” garapan Surni yang terus mengalami “metamorfosa” (baca: perombakan) hingga
menjadi Aburing Kupu-kupu Kuning itu, mestinya karya tari yang berlangsung
kurang lebih satu jam dengan masa persiapan enam bulan ini tidak lagi menampilkan
beberapa kosa gerak yang seharusnya sudah selesai pada nomor tari sebelumnya. Bukankah
“Ianfu” sudah berubah?
Dalam sinopsis singkatnya disampaikan
“Kini mereka menjadi pemberani” tetapi eksekusi gerak yang dipilih Surni masih mempresentasikan
pemerkosaan dan praktik kejahatan seksual dalam Ianjo, lalu depresi dan oleng
mental, bertahan hidup di antara sinisme masyarakat yang menatapnya jijik, menganggapnya
pelacur dan aib. Bukankah mereka sudah bermetamorfosa? Jika koreografer ingin flashback sejarah, saya rasa itu sudah terangkum
dalam motion graphic garapan Bezita. Dalam animasi itu sudah gamblang
dijelaskan.
Haruskah Surni dalam perjalanan
berkarya yang mengangkat isu “Ianfu” ini terus menerus menyuguhi penonton dengan
fragmen kekerasan dalam Ianjo dan masyarakat? Padahal sajian akan menjadi utuh
apabila vocabulary gerak yang di-mix dengan motion graphic itu saling mengisi
dan melengkapi. Mix media antara tari dan video animasi menjadi keputusan bagus,
tetapi sayangnya dalam kolaborasi itu ada tumpang tindih presentasi.
Satu hal lagi, apabila Surni masih
ingin berkonsentrasi menggarap tema sepenting Ianfu ini, ia harus rajin
mengikuti perkembangan dunia internasional. Mestinya sudah mengacu pada kiprah
dunia masa kini dalam menanggapinya. Bukan lagi bicara tentang praktik
kejahatan itu, tetapi lebih pada perjuangan mendapatkan keadilan dan pemenuhan tuntutan
Internasional pada Jepang. Karena jalur seni pun diyakini ampuh untuk membantu
menyuarakan dan merebut apa yang sudah diperjuangkan para “Ianfu” di masa lalu.
Mosaik
Ingatan
Puncak dari pementasan tari Aburing
Kupu-kupu Kuning adalah ketika vocal Safina Nadisa mengiring para penari bergantian
menari secara tunggal di depan tiga layar putih yang menampilkan slide wajah-wajah
perempuan Ianfu: Mardiyem (Ianfu dari Yogyakarta), Ngadirah (Gunung Kidul),
Tuminah (Solo), Suharti (Blitar), Paini (Kopeng) itu beberapa saja di antara
banyak ianfu yang hingga kini belum mendapat penghormatan selayaknya.
Nomor tari ditutup ketika para
penari dengan gerakan lembut mengalun menyabut tusuk konde, melepas gelung
rambut hingga terurai dan tusuk konde diacungkan ke atas menjadi simbol gerak
perlawanan mereka. Lalu musik beralih pada ritme cepat menjadi pembangkit
semangat.
Seorang penari mendekat, berdiri di
depan layar putih paling lebar. Permainan lampu yang didistribusikan dari pojok
atas menjadi titik keberhasilan ketika menampilkan bayangan serupa kepompong, pada
sisi kanan dan kiri pelan-pelan muncul sayap berwarna kuning, lalu melebar
terus melebar kemudian mengepak kuat dan disusul munculnya puluhan kupu-kupu
kuning yang berterbangan memenuhi area panggung, seolah mengabarkan para Ianfu
itu telah bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang terus terbang ke seluruh dunia
mencari keadilan dan menunut tegaknya harkat martabat perempuan. Dalam Aburing
Kupu-kupu Kuning itu penonton diundang untuk merenungkan bahwa dunia berhutang
rahim pada perempuan-perempuan itu. []
Kredit Foto: Bon Hidayat
Versi Cetak: Majalah Basis Mei-Juni 2019