Dengarkanlah

Rabu, 26 April 2017

Perempuan, Nafsu Kuasa dan Kerapuhan





Hening. Gelap di sekeliling. Seberkas cahaya menyorot lamat-lamat kemudian menguat. Sosok bergaun merah menyala berdiri mematung di pusat panggung, tangannya menggendong sebongkah hati sapi mentah menyedot mata membawa kesadaran ruang pada penonton untuk terlibat sebagai penyaksi. Waktu seperti beku. Tujuh menit pertama menantang kesabaran untuk menunggu apa yang tersaji selanjutnya.
Tiba-tiba terdengar riuh suara genderang memecah hening, dan sosok bergaun merah itu pelan-pelan mundur sepelan matahari tenggelam, cahaya itu mengikuti pergerakannya. Menaiki telundak lima anak tangga membentang sepanjang panggung. Lambat tetapi tetap menyita mata.
Lima penari masuk dari sisi kiri mengambil alih panggung, menapak lambat mencapai bibir panggung, menutup kepala dan wajah dengan kostum lebarnya, melepas kauskaki panjang kemudian menumpahkan batang-batang paku dari kauskaki itu sehingga gema suaranya menciptakan musik meresonansi keheningan. Cahaya menghadirkan seluruh panggung bernuansa hitam.
Sebuah awalan yang kuat saat Melati Suryodarmo menyajikan Tomorrow As Purposed dalam pembukaan Indonesian Dance Festival (IDF, 1/11/ 2016 di Teater Besar Kompleks Taman Ismail Marzuki. 




Suasana mulai menampakkan bentuk ketika penari perempuan (Cahwati) menarasikan naskah melalui nyanyian. Kemudian delapanbelas penampil meraga bertudung kepala, menyebar hingga ke sudut-sudut  panggung membawa sebentuk pot gerabah ketika seorang penari laki-laki berkostum raja berjalan menyeret kursi tahta. Satu persatu mereka mempersembahkan apa yang mereka bawa.
Namun pada bagian selanjutnya, masuknya penampil dengan membawa senjata di tangannya, memungkinkan saya untuk menangkap apa yang dikatakan Melati selaku dramaturg bahwa karya ini terinspirasi cerita tentang Macbeth karya Shakespeare.
Cukup terbaca dalam karya ini tentang kuatnya pengaruh perempuan dalam kehidupan laki-laki. Bagaimana perempuan dan kekuasaan adalah koalisi yang mengerikan bagi laki-laki. Penekanan bahwa manusia mempunyai naluri dan kehendak untuk berkuasa bahkan tak jarang melibatkan hal-hal yang bersifat supranatural dan sulit ditembus akal tengah digali Melati dalam Tomorrow As Porposed.
Secara keseluruhan nomor ini membawa saya mengimajinasikan opera abad pertengahan ketika Voca Erudita tim choir Universitas Sebelas Maret –Solo berkostum serba abu-abu secara harmonis menggemakan warna vocal yang mengingatkan saya pada musik Gregorian, mengalun lembut namun bertenaga. Dua penari perempuan mengenakan jubah dengan lempengan logam tembaga bergelantungan sehingga memunculkan bunyi berdentangan mengikuti gerak penari.
Ketergabungan Voca Erudita ke dalam karya ini, bukan semata menjadi pengisi suara. Tetapi mereka terlibat menggerakkan Tomorrow As Purposed. Pemaduan unsur seni vocal, teater dan gerak tari menjadikan karya ini berkarakter, kaya dan imajinatif.
Melati, koreografer asal Solo ini memang gemar mengeksplorasi dan membawa berbagai disiplin seni menjadi adonan yang unik dan cenderung multitafsir.  
Memang pertunjukan berjalan cukup lambat, tetapi justru itu memberi ruang bagi penonton untuk mengunyah pelan. Memasuki ruang imajinasi Melati dan turut melibatkan intelektualitas untuk melakukan pemaknaan terhadap Tomorrow As Purposed.
“Bukan karena ayam berkokok, matahari terbit.”
“Tetapi karena matahari terbitlah ayam berkokok.”
Penggalan kalimat yang diserukan dua penari perempuan (Cahwati dan Retno) membawa saya menyadari sampai hal terkecil tentang sebab akibat dalam keseharian, namun hal kecil itu dipakai pijakan Melati untuk mengungkap hubungan sebab-akibat yang lebih luas lagi. Ketika nafsu berkuasa sudah melingkupi hati manusia, kehancuran pasti terjadi.



Apa yang dimaksud sebagai kekuatan perempuan memang tertangkap ketika dua penari perempuan dengan mengenakan sepatu high-heels menggambarkan femininitas sekaligus power yang bisa memengaruhi keputusan laki-laki. Kehadiran pedang dan gerabah dalam karya ini menjadi symbol kerapuhan dan penghancuran. 
Yang membuat karya ini istimewa adalah masuknya unsur seni vocal baik yang tersampaikan seperti membaca puisi ataupun dalam bentuk nanyian. Semua berada pada porsi yang pas dan meninggalkan gaung dalam benak penonton.
 Dari keseluruhan karya itu, ada yang belum bisa saya pahami. Adalah ketika penari perempuan hadir menggigit sepasang high-heels, seberapa penting babak itu dimasukkan? Sangat berbeda kekuatannya ketika sepasang high-heels dikenakan penari perempuan saat menari dan membanting-banting tubuhnya seolah penggambaran bahwa ketinggian adalah acamanan atau bahkan membawa kejatuhan.
Saya mencoba berandai, bila high-heels yang digigit itu ditiadakan, apakah akan menguarangi esensi dari Tomorrow As Purposed sebagai karya yang pantas diapresiasi? Rasanya tidak.
Yang tak kalah dramatis adalah ending, tatkala para penari terpisah menjadi dua kelompok lalu mengambil arah pulang berlawanan, kemudian sekelompok penari yang berada di sisi kiri tiba-tiba membenturkan dua pot gerabah di tangan mereka sehingga menimbulkan bunyi “prakkk” seolah membangunkan penonton untuk kembali pada dunia kasat mata.  
Namun terlepas dari semua itu, Tomorrow As Purposed tetap menarik dan terbuka untuk dibongkar dengan cara pandang yang berbeda, dan rasanya justru itu yang akan membuat karya ini hidup dan menjalani takdirnya. []

Kredit foto: Dokumentasi Panitia IDF 2016




Tidak ada komentar:

Posting Komentar