Hening.
Gelap di sekeliling. Seberkas cahaya menyorot lamat-lamat kemudian menguat.
Sosok bergaun merah menyala berdiri mematung di pusat panggung, tangannya
menggendong sebongkah hati sapi mentah menyedot mata membawa kesadaran ruang
pada penonton untuk terlibat sebagai penyaksi. Waktu seperti beku. Tujuh menit
pertama menantang kesabaran untuk menunggu apa yang tersaji selanjutnya.
Tiba-tiba
terdengar riuh suara genderang memecah hening, dan sosok bergaun merah itu
pelan-pelan mundur sepelan matahari tenggelam, cahaya itu mengikuti
pergerakannya. Menaiki telundak lima anak tangga membentang sepanjang panggung.
Lambat tetapi tetap menyita mata.
Lima
penari masuk dari sisi kiri mengambil alih panggung, menapak lambat mencapai
bibir panggung, menutup kepala dan wajah dengan kostum lebarnya, melepas
kauskaki panjang kemudian menumpahkan batang-batang paku dari kauskaki itu
sehingga gema suaranya menciptakan musik meresonansi keheningan. Cahaya menghadirkan
seluruh panggung bernuansa hitam.
Sebuah
awalan yang kuat saat Melati Suryodarmo menyajikan Tomorrow As Purposed dalam pembukaan Indonesian Dance Festival
(IDF, 1/11/ 2016 di Teater Besar Kompleks Taman Ismail Marzuki.
Suasana
mulai menampakkan bentuk ketika penari perempuan (Cahwati) menarasikan naskah
melalui nyanyian. Kemudian delapanbelas penampil meraga bertudung kepala,
menyebar hingga ke sudut-sudut panggung
membawa sebentuk pot gerabah ketika seorang penari laki-laki berkostum raja
berjalan menyeret kursi tahta. Satu persatu mereka mempersembahkan apa yang
mereka bawa.
Namun
pada bagian selanjutnya, masuknya penampil dengan membawa senjata di tangannya,
memungkinkan saya untuk menangkap apa yang dikatakan Melati selaku dramaturg
bahwa karya ini terinspirasi cerita tentang Macbeth karya Shakespeare.
Cukup
terbaca dalam karya ini tentang kuatnya pengaruh perempuan dalam kehidupan
laki-laki. Bagaimana perempuan dan kekuasaan adalah koalisi yang mengerikan
bagi laki-laki. Penekanan bahwa manusia mempunyai naluri dan kehendak untuk
berkuasa bahkan tak jarang melibatkan hal-hal yang bersifat supranatural dan
sulit ditembus akal tengah digali Melati dalam Tomorrow As Porposed.
Secara
keseluruhan nomor ini membawa saya mengimajinasikan opera abad pertengahan
ketika Voca Erudita tim choir
Universitas Sebelas Maret –Solo berkostum serba abu-abu secara harmonis
menggemakan warna vocal yang mengingatkan saya pada musik Gregorian, mengalun
lembut namun bertenaga. Dua penari perempuan mengenakan jubah dengan lempengan
logam tembaga bergelantungan sehingga memunculkan bunyi berdentangan mengikuti
gerak penari.
Ketergabungan
Voca Erudita ke dalam karya ini, bukan semata menjadi pengisi suara. Tetapi
mereka terlibat menggerakkan Tomorrow As
Purposed. Pemaduan unsur seni vocal, teater dan gerak tari menjadikan karya
ini berkarakter, kaya dan imajinatif.
Melati,
koreografer asal Solo ini memang gemar mengeksplorasi dan membawa berbagai
disiplin seni menjadi adonan yang unik dan cenderung multitafsir.
Memang
pertunjukan berjalan cukup lambat, tetapi justru itu memberi ruang bagi
penonton untuk mengunyah pelan. Memasuki ruang imajinasi Melati dan turut
melibatkan intelektualitas untuk melakukan pemaknaan terhadap Tomorrow As Purposed.
“Bukan
karena ayam berkokok, matahari terbit.”
“Tetapi
karena matahari terbitlah ayam berkokok.”
Penggalan
kalimat yang diserukan dua penari perempuan (Cahwati dan Retno) membawa saya
menyadari sampai hal terkecil tentang sebab akibat dalam keseharian, namun hal
kecil itu dipakai pijakan Melati untuk mengungkap hubungan sebab-akibat yang
lebih luas lagi. Ketika nafsu berkuasa sudah melingkupi hati manusia,
kehancuran pasti terjadi.
Apa
yang dimaksud sebagai kekuatan perempuan memang tertangkap ketika dua penari
perempuan dengan mengenakan sepatu high-heels
menggambarkan femininitas sekaligus power
yang bisa memengaruhi keputusan laki-laki. Kehadiran pedang dan gerabah dalam
karya ini menjadi symbol kerapuhan dan penghancuran.
Yang
membuat karya ini istimewa adalah masuknya unsur seni vocal baik yang
tersampaikan seperti membaca puisi ataupun dalam bentuk nanyian. Semua berada
pada porsi yang pas dan meninggalkan gaung dalam benak penonton.
Dari keseluruhan karya itu, ada yang belum
bisa saya pahami. Adalah ketika penari perempuan hadir menggigit sepasang high-heels, seberapa penting babak itu
dimasukkan? Sangat berbeda kekuatannya ketika sepasang high-heels dikenakan penari perempuan saat menari dan
membanting-banting tubuhnya seolah penggambaran bahwa ketinggian adalah
acamanan atau bahkan membawa kejatuhan.
Saya
mencoba berandai, bila high-heels
yang digigit itu ditiadakan, apakah akan menguarangi esensi dari Tomorrow As Purposed sebagai karya yang
pantas diapresiasi? Rasanya tidak.
Yang
tak kalah dramatis adalah ending, tatkala para penari terpisah menjadi dua
kelompok lalu mengambil arah pulang berlawanan, kemudian sekelompok penari yang
berada di sisi kiri tiba-tiba membenturkan dua pot gerabah di tangan mereka sehingga
menimbulkan bunyi “prakkk” seolah membangunkan penonton untuk kembali pada
dunia kasat mata.
Namun
terlepas dari semua itu, Tomorrow As
Purposed tetap menarik dan terbuka untuk dibongkar dengan cara pandang yang
berbeda, dan rasanya justru itu yang akan membuat karya ini hidup dan menjalani
takdirnya. []
Kredit
foto: Dokumentasi Panitia IDF 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar