Keanggunan sebentuk payung atau Songsong -dalam bahasa Jawa, telah
membawa benda itu melintasi ruang dan waktu. Membentang dari negeri-negeri
kawasan Timur hingga Barat. Memiliki biografi unik dan panjang. Kehadirannya
menjadi bagian dari sejarah dan peradaban berbagai bangsa. Menjadi simbol
penindasan, menjadi ukuran status sosial dan menjadi pelengkap penampilan perempuan-perempuan
bangsawan. Sebelum akhirnya payung menjalani fungsinya dengan bersahaja.
Latar
belakang dan sisi historis inilah yang membuat Solo mengangkat Payung menjadi
salah satu benda yang layak dirayakan secara khusus setara dengan batik,
wayang, jenang juga gamelan. Seperti tahun lalu, (mungkin juga tahun-tahun yang
akan datang) Taman Balekambang dipilih sebagai lokasi Festival Payung (11-13
September 2015) Sebuah taman yang pada mulanya bernama Partini Tuin atau
Taman Air Partini, dan Partinah Bosch atau Hutan Partinah.
Dibangun oleh KGPAA Mangkunegara VII pada 26 Oktober 1921 sebagai perwujudan
cinta kasih kepada kedua putrinya. Hingga kini, patung kedua putri Mangkunegara itu masih terpacak di
sana. Dulu sempat mangkrak, kemudian pada era Walikota Joko Widodo,
tempat itu dibenahi, kemudian menjadi ruang publik yang ramah dan murah, juga
sebagai upaya menghambat pembentukan masyarakat ahistoris.
Selama
tiga hari, di dalam taman seluas 9,8 ha itu ratusan payung beraneka aneka ragam,
warna dan ukuran dari berbagai daerah di Nusantara bahkan manca negara
menghiasi sekitar pepohonan dan bangku-bangku taman. Terkhusus di tepi kolam di
mana patung GRAy Partinah terletak di tengahnya. Karena persis di tepi kolam
itu dibentangkan panggung untuk pementasan peragaan busana dan Tari Payung dari
Thailand, Tiongkok, Jepang dan Indonesia. Dengan tata lampu artisitk, patung
GRAy Partinah yang duduk tenang menjadi latar para penari, tampak anggun, agung
dan mistis.
Apresiasi
Solo terhadap Payung juga diwujudkan dalam lomba melukis payung, workshop
pembuatan payung tradisi dari Juwiring (Klaten), Tasikmalaya, Kalibagor
(Banyumas) Desain Payung China dan beberapa daerah lainnya, juga digelar
Saresehan dan Fefleksi dengan tema “Di Bawah Payung Indonesia”.
Jika
menilik sejarah payung, benda itu sudah hadir lebih dari 3500 tahun lalu. Sebagai
bukti, kita bisa melihatnya pada karya seni dan artefak-artefak kuno yang
ditemukan di Mesir, Syria, Yunani dan Tiongkok.
Adalah
Tiongkok yang kemudian mengembangkan payung sebagai benda pelindung dari hujan.
Payung mengalami evolusi dan terus menyongsong perkembangan demi perkembangan dunia.
Pada perjalanannya kemudian payung sempat menjadi simbol feodalisme. Perangkat
penanda kekuasaan.
Di
Nusantara (Indonesia Pra-merdeka) dan banyak bangsa di dunia, payung (Songsong) memiliki cerita pedih. Kaum
bangsawan tak bisa dipisahkan dari payung. Alih-alih bermakna bahwa mereka hadir
sebagai Payung “pemayung dan pelindung”, payung justru tampil memperdalam jurang
antara rakyat kecil dan penguasa. Karena seorang abdi berkewajiban repot
membawa payung –songsong demi
menyongsong junjungannya yang keluar dari kereta kencana. “payung pada jaman
kerajaan, menjadi ciri keningratan dan kepriyayian, simbol kekuasaan dan
penindasan.” Papar Heri Priyatmoko –sejarawan Solo yang menjadi pemateri dalam Saresehan
dan Refleksi itu.
Dan
kini payung sudah menjadi benda yang menjangkau berbagai kalangan dan lapisan.
Berevolusi menjadi benda yang berfungsi tegas: memayungi dan melindungi dari
sengatan sinar matahari dan guyuran air hujan. Perjalanannya yang panjang telah
sampai pada tangan-tangan tak bernama, tak berkasta. []
Fotografer: Sanggar
Seni Kemasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar