Dengarkanlah

Selasa, 20 Oktober 2015

Perjumpaan Antara Yang Lalu dan Kini Dalam Teater






 Judul               : Plin-Plan
Naskah           : Suharyoso SK.
Fotografer       : Budhi Santosa 

             Harus diakui bahwa tragedi kemanusiaan yang terjadi 50 tahun lalu di negeri ini, masih menyisakan banyak persoalan. Hujatan dan pembelaan terhadap ideologi sebuah partai “terlarang” yang pernah tumbuh subur di negeri ini bersirebut ruang linimasa. Diperkuat dengan pro dan kontra wacana presiden yang mengemban kewajiban untuk secara resmi meminta maaf kepada rakyat atas peristiwa itu.
            Potret inilah yang ditangkap oleh KAGAMA Surakarta (keluarga alumni UGM) unit seni dan budaya yang kemudian membeberkan kegelisahan itu dalam sebuah karya teater dengan judul “Plin-Plan” dipentaskan pada 8 Oktober 2015 di Teater Arena Taman Budaya Jawatengah. Naskah garapan Suharyoso SK ini menghimpun pemain-pemain senior yang kesemuanya sudah usia pensiun berkolaborasi dengan yunior yang masih berstatus mahasiswa.




            Awalnya, imajinasi saya ditarik pada problematik sosial di kota besar yang menjangkit negeri ini, yaitu maraknya gelandangan dan orang-orang marginal atau dimarginalkan. Segerombolan pengamen masuk menyanyikan lagu dangdut menuju sebuah lokasi di mana sekelompok warga mengais hidup. Mereka bermukim di bantaran rel kereta api, di emperan toko dan pasar-pasar, juga penjual Koran “penguasa” perempatan jalan di bawah lampu merkuri.
Tetapi kemudian, ada lompatan dalam tangkapan saya ketika mereka mulai berkonflik, mengaitkan masa lalu dengan masa kini. Bahwa ternyata mereka adalah para korban sebuah peristiwa kelam, dan mereka ngeri untuk kembali ke kampung halaman karena bagi mereka itu sama artinya dengan menjemput kematian. 
            Ada beberapa karakter yang terbentuk di sana. Adalah Kayat seorang mantan propagandis partai, yang selamat dan tetap mencoba menerapkan asas sama rata sama rasa dalam komunitas gelandangan itu. Ada mantan algojo yang kemudian memilih bisu dan gila sebab kuat menanggung rasa bersalah. Ada janda satu anak yang suaminya dibunuh di depan matanya. Ada sebuah keluarga biasa dengan satu anak yang lari dari kampung karena ketakutan oleh pembantaian di kampungnya. Ada tokoh yang tetap tegas dengan garis perjuangannya yaitu kemerdekaan sesungguhnya. 
 Plin-Plan menjadi sejenis pilihan yang saya curigai sebagai oportunis jika menyimak sebuah pandangan Kayat bahwa politik adalah upaya memertahankan hidup dan menyelamatkan diri. Termasuk upaya cuci tangan atas propaganda yang pernah dia lakukan di masa di ketika dusun mereka dalam kemelut. 
Ketika karya tercipta, tentu ada sesuatu yang melatarinya. Tragedi 50 tahun lalu dalam teater ini telah menyebabkan pecahnya garis darah. Kacaunya sebuah silsilah. Silang sengkarut keluarga yang berujung pada inces tanpa sengaja. 





Durasi dalam pementasan ini cukup panjang dan sedikit melebar. Seolah kenangan atau pengalaman personal sekian puluh tahun, setelah melampaui peristiwa demi peristiwa termasuk era reformasi, sepertinya ingin ditampung semua dalam sekali pentas.
Namun perlu diakui bahwa pilihan mereka untuk berteater kembali saat berada di usia pensiun bukan sekadar romantisme usia senja. Tetapi lebih merupakan seni menanggapi hidup beranjak tua. Dengan mengadakan reuni dan perjumpaan secara intens untuk latihan teater lalu menampilkannya, adalah penghargaan hidup yang luar biasa. Sebut saja, Nining Supratmanto (Mantan kepala RRI Surakarta dan Semarang), Stefanus Sukirno (Mantan Rektor UNTAG, Semarang) dan para doctor yang terlibat dalam penggarapan musik, pencahayaan dan elemen-elemen terkait dalam pementasan ini. Tetapi gaya berteater mereka bukan melemah, justru terlihat matang dan sesuai dengan usia mereka yang berangkat dari masa lalu kemudian berada pada masa kini.  


Tentu menjadi kesulitan dan tantangan tersendiri untuk mewujudkan sebentuk apresiasi mereka terhadap hidup dan sejarah kelam bangsanya, mengingat mereka tinggal di luar kota, bahkan luar pulau untuk mengadakan latihan rutin. Selebihnya, perlu diakui bahwa energi mereka, passion mereka pada seni, nyata tetap menyala hingga senja. []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar