Judul : Plin-Plan
Naskah :
Suharyoso SK.
Fotografer : Budhi Santosa
Harus diakui bahwa tragedi
kemanusiaan yang terjadi 50 tahun lalu di negeri ini, masih menyisakan banyak
persoalan. Hujatan dan pembelaan terhadap ideologi sebuah partai “terlarang”
yang pernah tumbuh subur di negeri ini bersirebut ruang linimasa. Diperkuat
dengan pro dan kontra wacana presiden yang mengemban kewajiban untuk secara
resmi meminta maaf kepada rakyat atas peristiwa itu.
Potret inilah yang ditangkap oleh KAGAMA
Surakarta (keluarga alumni UGM) unit seni dan budaya yang kemudian membeberkan
kegelisahan itu dalam sebuah karya teater dengan judul “Plin-Plan” dipentaskan pada 8 Oktober 2015 di Teater Arena Taman
Budaya Jawatengah. Naskah garapan Suharyoso SK ini menghimpun pemain-pemain senior
yang kesemuanya sudah usia pensiun berkolaborasi dengan yunior yang masih
berstatus mahasiswa.
Awalnya, imajinasi saya ditarik pada
problematik sosial di kota besar yang menjangkit negeri ini, yaitu maraknya
gelandangan dan orang-orang marginal atau dimarginalkan. Segerombolan pengamen
masuk menyanyikan lagu dangdut menuju sebuah lokasi di mana sekelompok warga mengais
hidup. Mereka bermukim di bantaran rel kereta api, di emperan toko dan
pasar-pasar, juga penjual Koran “penguasa” perempatan jalan di bawah lampu
merkuri.
Tetapi
kemudian, ada lompatan dalam tangkapan saya ketika mereka mulai berkonflik,
mengaitkan masa lalu dengan masa kini. Bahwa ternyata mereka adalah para korban
sebuah peristiwa kelam, dan mereka ngeri untuk kembali ke kampung halaman
karena bagi mereka itu sama artinya dengan menjemput kematian.
Ada beberapa karakter yang terbentuk
di sana. Adalah Kayat seorang mantan propagandis partai, yang selamat dan tetap
mencoba menerapkan asas sama rata sama rasa dalam komunitas gelandangan itu.
Ada mantan algojo yang kemudian memilih bisu dan gila sebab kuat menanggung
rasa bersalah. Ada janda satu anak yang suaminya dibunuh di depan matanya. Ada
sebuah keluarga biasa dengan satu anak yang lari dari kampung karena ketakutan
oleh pembantaian di kampungnya. Ada tokoh yang tetap tegas dengan garis
perjuangannya yaitu kemerdekaan sesungguhnya.
Plin-Plan menjadi sejenis pilihan yang saya
curigai sebagai oportunis jika menyimak sebuah pandangan Kayat bahwa politik
adalah upaya memertahankan hidup dan menyelamatkan diri. Termasuk upaya cuci
tangan atas propaganda yang pernah dia lakukan di masa di ketika dusun mereka
dalam kemelut.
Ketika
karya tercipta, tentu ada sesuatu yang melatarinya. Tragedi 50 tahun lalu dalam
teater ini telah menyebabkan pecahnya garis darah. Kacaunya sebuah silsilah.
Silang sengkarut keluarga yang berujung pada inces tanpa sengaja.
Durasi
dalam pementasan ini cukup panjang dan sedikit melebar. Seolah kenangan atau
pengalaman personal sekian puluh tahun, setelah melampaui peristiwa demi
peristiwa termasuk era reformasi, sepertinya ingin ditampung semua dalam sekali
pentas.
Namun
perlu diakui bahwa pilihan mereka untuk berteater kembali saat berada di usia pensiun
bukan sekadar romantisme usia senja. Tetapi lebih merupakan seni menanggapi
hidup beranjak tua. Dengan mengadakan reuni dan perjumpaan secara intens untuk
latihan teater lalu menampilkannya, adalah penghargaan hidup yang luar biasa.
Sebut saja, Nining Supratmanto (Mantan kepala RRI Surakarta dan Semarang),
Stefanus Sukirno (Mantan Rektor UNTAG, Semarang) dan para doctor yang terlibat
dalam penggarapan musik, pencahayaan dan elemen-elemen terkait dalam pementasan
ini. Tetapi gaya berteater mereka bukan melemah, justru terlihat matang dan
sesuai dengan usia mereka yang berangkat dari masa lalu kemudian berada pada
masa kini.
Tentu
menjadi kesulitan dan tantangan tersendiri untuk mewujudkan sebentuk apresiasi
mereka terhadap hidup dan sejarah kelam bangsanya, mengingat mereka tinggal di
luar kota, bahkan luar pulau untuk mengadakan latihan rutin. Selebihnya, perlu
diakui bahwa energi mereka, passion mereka pada seni, nyata tetap menyala
hingga senja. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar