Pertunjukan oleh Komunitas Lima Gunung "White Noice"
Di
ketinggian antara 1700 meter di atas permukaan Laut, kabut turun merayap
menyamarkan punggung bukit dan perkebunan di desa Krandegan, desa tertinggi di
Gunung Sumbing, Magelang, Jawa Tengah. Bau perdu dan belukar liar mengirim
aroma kesuburan tanah penuh berkah. Beratap langit dan berberanda jurang, desa
itu cukup padat penduduk. Dan di wajah setiap warga terpancar kegembiraan hidup
dalam pelukan alam Sumbing yang telah melimpahi mereka dengan kekayaan yang
dikandungnya.
Rombongan Peserta BWCF 2015 menuju Desa Krandegan
Serombongan
peserta Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF 2015) itu menapaki jalan
menanjak, memapas kabut dan hawa dingin untuk menuju sebuah tempat yang oleh
penduduk setempat dinamai Omah Pertunjukan. Satu hal yang menarik dari Festival
ini adalah kelindannya antara kaum intelektual dengan warga desa yang jelas
memiliki hak yang sama untuk menikmati seni dan kultural. Festival ini tidak
tinggal di menara gading, tetapi memiliki kesadaran bahwa kecerdasan sejati bukan
hanya mumpuni dalam teori tetapi bersentuhan langsung dengan elemen-elemen
kehidupan beserta masyarakat yang dibentuk dan membentuk siklus kehidupan itu
sendiri, baik di gunung maupun pesisir.
Bapak Hadi Sidomulyo (Nigel Bulluogh) Penerima Penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan
Agenda
acara yang terpusat di Hotel Manohara, kompleks Candi Borobudur itu, mengambil
tema Gunung, Bencana dan Mitos di Nusantara. Memberi penghargaan Sang Hyang
Kamahayanikan Award kepada Hadi Sidomulyo (Nigel Bulluogh, dari Inggris) atas
dedikasinya dalam meneliti dan riset-risetnya tentang Majapahit dan Gunung
Penanggungan sejak 1971. Acara dibuka dengan kolaborasi tari dan musik
kontemporer “White Noice” dari Komuntias Lima Gunung. Arupadhatu Candi
Borobudur menjadi latar panggung alam pada pementasan itu.
Suasana diskusi di Hotel Manohara
Dalam
festival ini juga digelar seminar sehubungan dengan Geologi, Arkeologi,
Vulkanologi dan Theologi. Sebuah upaya membangun kesadaran tentang perlunya
hormat dan ngrumat gunung mengingat
sebagian besar penduduk Indonesia hidup di atas cincin api yang paling aktif di
dunia dan dibelit oleh jalur berapi kedua, yaitu Sabuk Alpide. Kondisi tersebut
membuat Indonesia ada dalam lingkup alam yang berbahaya. Tetapi masyarakat di
Gunung (termasuk G. Sumbing) selalu sanggup menatap bahwa gunung bukan si
Penebar bencana, tetapi juga Sang Pemurah -pemberi kehidupan dan kemakmuran.
[atas] Jodho Kemil [bawah] penduduk desa Krandegan
Ketika
rombongan itu sampai, beberapa penduduk sudah berada di area, tempat digelarnya
seni pertunjukan yang merupakan bagian dari rangkaian BWCF 2015 (12-14 November)
Tak selang panjang gamelan ditabuh mengiring tubuh para penari dari desa
setempat dan tari Jejer Gandrung dari Banyuwangi. Ditampilkan juga grup musik
Jodho Kemil (Magelang) dan Brayat Endah Laras (Solo).
Menikmati senja Desa Krandegan 1700 meter di atas permukaan air laut
Semua
warga membuka pintu rumah lalu keluar untuk memadu ramah dengan tamu mereka
yang datang dari berbagai penjuru. Tua-muda tanpa kecuali anak-anak. Tak ada
batas, tak ada sekat. Warga berdesakan dengan peserta BWCF bahkan menari
bersama dengan para pengampunya: Yoke Darmawan, Romo Mudji Sutrisno, Romo
Banar, Imam Muhtarom, Seno Joko Suyono adalah beberapa nama yang memiliki
gagasan memberi perhatian kepada seluruh unsur kehidupan. Juga Sutanto Mendut
dengan Komunitas Lima Gunung-nya (Merapi-Merbabu-Menoreh-Sumbing-Andong) yang
tak lelah membangun interaksi dengan masyarakat gunung.
Meski
berbeda corak dan jenis, barangkali tentang musik, lagu dan tari adalah hal
biasa bagi penduduk desa terakhir di kaki Gunung Sumbing itu, tetapi tidak
halnya dengan Puisi.
"Asu" Joko Pinurbo
Puisi
dengan bahasa-bahasa khas dari para penyair: Joko Pinurbo, Gunawan Maryanto dan
Eka Budianta malam itu digaungkan di gunung, di antara liar perdu dan
batu-batu. Pekat malam dan bebintang yang sembunyi di balik awan. Secara
sederhana puisi-puisi gunung itu diulurkan, lalu mengajak peserta BWCF dan warga
desa Krandegan yang bersahaja untuk merayakan kehidupan. Puisi tentang kampung
halaman oleh Eka Budianta, Puisi Selo Blekithi oleh Gunawan Maryanto dan puisi
“Asu” Joko Pinurbo dengan bahasa lugas menyapa warga. Memberi penghiburan
sekaligus memberi tawaran dalam menanggapi lakon kehidupan dengan cara yang berbeda.
Barangkali
puisi masih asing atau dianggap sebagai seni membaca saja bagi warga desa,
tetapi saya melihat justru hal itu sangat perlu demi memuliakan kemanusiaan dan
memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada warga dan alamnya. Dan syukurlah,
puisi yang dibacakan malam itu bukan puisi yang terbungkus kata-kata rumit
membingungkan. Tetapi bahasa lugas apa adanya, yang mudah dicerna dan sekali
lagi: menghibur. Karena bagi saya, itu adalah esensi puisi yang sebenarnya. Memang
selayaknya puisi bergaung di gunung-gunung.
"White Noice" Komunitas Lima Gunung
Foto: koleksi Mendut Mendut dan Dahri Dahlan.
Publikasi versi cetak: Ruang Putih, Jawa Pos, 22 November 2015