Wangi
tajam dupa yang dibakar, mengepul membubung seiring dengan doa-doa yang dirapal
oleh sesepuh Padepokan Lemah Putih: Suprapto Suryadharma pada peringatan 1 Sura
di Museum Radya Pustaka (14 Oktober 2015). Semakin kental aura mistis dalam
pembukaan Srawung Seni Sakral itu ketika dua penari di atas panggung beradu
punggung dengan patung Ranggawarsita menaikkan puja di sisi tumpeng dan uba rampe yang tersaji. Wirid terus
diuntai sebagai wujud sesembahan syukur kepada Sang Hyang Pranata Jagad atas berkah hidup setelah setahun berlalu.
Para
pelaku tari (sakral) telah memilih caranya sendiri untuk berefleksi, menandai
permulaan kala menapaki waktu memasuki tahun baru. Memaparkan pengakuan bahwa laku
hidup eling lan waspada dan hubungan
eratnya dengan kosmis –Jagad Raya menjadi nafasnya dalam berkarya. Terus
menempatkan kesadarannya terhadap kesejatian bahwa Kosmis tak bisa diceraikan
dari Agama (Religiusitas), Filsafat dan Seni karena “Sang Ia” merupakan sumber ilmu pengetahuan, yang membuahkan pemahaman mendasar
tentang inti hidup dan perlunya mendekatkan diri terus menerus pada Sang
Sumber.
Seni,
adalah “Sani” dalam Bahasa Sanskerta yang berarti pemujaan, pelayanan,
permohonan atau pencarian dengan penuh rasa hormat dan kejujuran. Persis di
sinilah pelaku seni tari sakral berpijak. Lewat tari, mereka mengekspresikan
kebebasan sebebas nebula-nebula dan bintang-bintang yang hidup sebagai keluarga
dalam galaksi-galaksi. Mengalir seperti air di sungai, bergerak seperti
pepohonan yang dihembus angin, sehingga karya mereka kental spiritual dan
religiusitas. Bahkan ketika ditarikan bersama-sama, kesan personal tetap tampak
menandai hubungan erat antara masing-masing penari dengan semesta. Kesadaran mereka sebagai satu
keluarga semesta, membawa mereka pada empati bahwa luka dalam satu keluarga akan
mempengaruhi keseimbangan dan ketenteraman.
Seperti yang dipresentasikan Elly D
Luthan (istri alm. Dedy Luthan) bersama Boby Ari Setiawan dan beberapa personil
dari studio taksu dalam penuangan emosi lewat “Biyung
Suwung” yang begitu ekspresif. Nelangsa dan pedih. Mereka
menari di atas panggung jerami yang dicecer di halaman museum. Secara elok
percikan air dari jambangan batu bangka dan kembang setaman mengambang di permukaannya
serta sedahan pohon kemuning dihadirkan sebagai simbol kehidupan. Ketajaman
batin Elly dalam mengganggapi peristiwa kekosongan dan rasa suwung sangat
terbaca di sana. Penghayatan akan pengalaman pencarian tatkala
kehilangan terasa enigmatis. Bagai ibu bumi yang dikoyak dan dijarah rayah
segala yang ditumbuhkannya.
Berkelindannya pelaku seni dengan
semesta terasa juga dalam “Bagaspati” karya tunggal Mugiyono Kasido. Karya
kontemporer yang tidak meninggalkan akar tradisi Jawa yang kuat. Karya ini
adalah bentuk apresiasi terhadap kehadiran matahari sebagai mata kosmis. Mugi mengandalkan pengamatan batin terhadap hidup
keseharian dalam laku seni-nya. “Bagaspati” adalah Ruh Matahari,
Sang Bagaskara, yang bersinar di pagi hari tatkala membangunkan akar-akar
tetumbuhan, hewan ternak serta segala yang meninggali bumi untuk menyambut hari. “Bagaspati” adalah kerendahatian
Sang penari dalam mengakui Kosmologi sebagai bagian tertua dari pengetahuan
manusia.
Dengan mengenakan
topeng masa kini, jari-jari tangan dan kaki bergerak menari seperti misteriusnya akar yang bergerak tumbuh ketika
matahari menyinari hingga kedalaman tanah. Tari ini memang
sengaja dicipta untuk penyambutan tahun baru. Ia lahir dari pertanyaan
mengapa penyambutan hari pertama pada tahun baru sering dilakukan malam hari?
Bukankah hari baru akan ditandai dengan munculnya matahari yang mengajak untuk lekas bekerja di ladang, sawah dan kebun untuk menyapa tetumbuhan
dan saling sentuh dengan alam semesta. Karya tari ini begitu reflektif dan
arif. Menggambarkan posisi matahari dalam kehidupan orang Jawa khususnya
petani pedesaan.
Penubuhan Ruh yang sama juga
disampaikan para penari dari berbagai kota bahkan Negara tetangga. Sebuah pengakuan
kolektif bahwa kita dan alam semesta adalah satu keluarga. Maka, ketika tari sakral
sebagai pemujaan, permohonan atau pencarian itu dibabarkan di halaman Museum
tertua di Indonesia, yang saya rasakan adalah terhubungnya yang tak kasat mata
dengan yang tampak. Bertemunya kekinian dengan yang klasik. Tergiring mengarah
untuk melakukan refleksi tentang Hidup, dan terpetik sebuah tanya, siapakah
manusia di hadapan semesta? []
Fotografer
: Sanggar Seni Kemasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar