Dengarkanlah

Selasa, 03 November 2015

Mahargya Sura: Mendekat Pada Inti Hidup





Wangi tajam dupa yang dibakar, mengepul membubung seiring dengan doa-doa yang dirapal oleh sesepuh Padepokan Lemah Putih: Suprapto Suryadharma pada peringatan 1 Sura di Museum Radya Pustaka (14 Oktober 2015). Semakin kental aura mistis dalam pembukaan Srawung Seni Sakral itu ketika dua penari di atas panggung beradu punggung dengan patung Ranggawarsita menaikkan puja di sisi tumpeng dan uba rampe yang tersaji. Wirid terus diuntai sebagai wujud sesembahan syukur kepada Sang Hyang Pranata Jagad atas berkah hidup setelah setahun berlalu. 



Para pelaku tari (sakral) telah memilih caranya sendiri untuk berefleksi, menandai permulaan kala menapaki waktu memasuki tahun baru. Memaparkan pengakuan bahwa laku hidup eling lan waspada dan hubungan eratnya dengan kosmis –Jagad Raya menjadi nafasnya dalam berkarya. Terus menempatkan kesadarannya terhadap kesejatian bahwa Kosmis tak bisa diceraikan dari Agama (Religiusitas), Filsafat dan Seni karena “Sang Ia” merupakan sumber ilmu pengetahuan, yang membuahkan pemahaman mendasar tentang inti hidup dan perlunya mendekatkan diri terus menerus pada Sang Sumber.
Seni, adalah “Sani” dalam Bahasa Sanskerta yang berarti pemujaan, pelayanan, permohonan atau pencarian dengan penuh rasa hormat dan kejujuran. Persis di sinilah pelaku seni tari sakral berpijak. Lewat tari, mereka mengekspresikan kebebasan sebebas nebula-nebula dan bintang-bintang yang hidup sebagai keluarga dalam galaksi-galaksi. Mengalir seperti air di sungai, bergerak seperti pepohonan yang dihembus angin, sehingga karya mereka kental spiritual dan religiusitas. Bahkan ketika ditarikan bersama-sama, kesan personal tetap tampak menandai hubungan erat antara masing-masing penari dengan semesta. Kesadaran mereka sebagai satu keluarga semesta, membawa mereka pada empati bahwa luka dalam satu keluarga akan mempengaruhi keseimbangan dan ketenteraman.


          Seperti yang dipresentasikan Elly D Luthan (istri alm. Dedy Luthan) bersama Boby Ari Setiawan dan beberapa personil dari studio taksu dalam penuangan emosi lewat “Biyung Suwung” yang begitu ekspresif. Nelangsa dan pedih. Mereka menari di atas panggung jerami yang dicecer di halaman museum. Secara elok percikan air dari jambangan batu bangka dan kembang setaman mengambang di permukaannya serta sedahan pohon kemuning dihadirkan sebagai simbol kehidupan. Ketajaman batin Elly dalam mengganggapi peristiwa kekosongan dan rasa suwung sangat terbaca di sana. Penghayatan akan pengalaman pencarian tatkala kehilangan terasa enigmatis. Bagai ibu bumi yang dikoyak dan dijarah rayah segala yang ditumbuhkannya.


          Berkelindannya pelaku seni dengan semesta terasa juga dalam “Bagaspati” karya tunggal Mugiyono Kasido. Karya kontemporer yang tidak meninggalkan akar tradisi Jawa yang kuat. Karya ini adalah bentuk apresiasi terhadap kehadiran matahari sebagai mata kosmis. Mugi  mengandalkan pengamatan batin terhadap hidup keseharian dalam laku seni-nya. “Bagaspati” adalah Ruh Matahari, Sang Bagaskara, yang bersinar di pagi hari tatkala membangunkan akar-akar tetumbuhan, hewan ternak serta segala yang meninggali bumi untuk menyambut hari. “Bagaspati” adalah kerendahatian Sang penari dalam mengakui Kosmologi sebagai bagian tertua dari pengetahuan manusia.



           Dengan mengenakan topeng masa kini, jari-jari tangan dan kaki bergerak menari seperti  misteriusnya akar yang bergerak tumbuh ketika matahari menyinari hingga kedalaman tanah. Tari ini memang sengaja dicipta untuk penyambutan tahun baru. Ia lahir dari pertanyaan mengapa penyambutan hari pertama pada tahun baru sering dilakukan malam hari? Bukankah hari baru akan ditandai dengan munculnya matahari yang mengajak untuk lekas bekerja di ladang, sawah dan kebun untuk menyapa tetumbuhan dan saling sentuh dengan alam semesta. Karya tari ini begitu reflektif dan arif. Menggambarkan posisi matahari dalam kehidupan orang Jawa khususnya petani pedesaan.
          Penubuhan Ruh yang sama juga disampaikan para penari dari berbagai kota bahkan Negara tetangga. Sebuah pengakuan kolektif bahwa kita dan alam semesta adalah satu keluarga. Maka, ketika tari sakral sebagai pemujaan, permohonan atau pencarian itu dibabarkan di halaman Museum tertua di Indonesia, yang saya rasakan adalah terhubungnya yang tak kasat mata dengan yang tampak. Bertemunya kekinian dengan yang klasik. Tergiring mengarah untuk melakukan refleksi tentang Hidup, dan terpetik sebuah tanya, siapakah manusia di hadapan semesta? []
Fotografer : Sanggar Seni Kemasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar