Nungki Nur Cahyani "Gray"
Bisa dipastikan hampir semua daerah di belahan bumi ini
memiliki Pasar. Sebuah ajang percakapan dan komunikasi yang paling tinggi
intensitasnya dibanding tempat publik lain. Pertemuan berskala luas yang bisa menjadi
indikasi tingkat pertumbuhan ekonomi sebuah daerah. Tawar menawar antara
pembeli dan pedagang, perputaran uang dan barang, persinggungan lengan sesama
pengunjung tanpa rasa tersinggung adalah nafas pasar tradisional.
Ketika kekuatan lain berhasil menghadirkan pasar modern,
mall dan swalayan, lalu diperparah dengan perdagangan online yang gigih,
pasar tradisional mulai tersisih. Berangkat dari persoalan itu, maka, Solo
sigap mengarahkan mata pada pasar tradisional. Mengajak masyarakatnya untuk
sadar berpasar.
Upaya yang dilakukan untuk memupuk pasar tradisional agar tidak
mawut terenggut kekinian salah satunya
adalah mengajak para pelaku seni masuk ke pasar. Secara politis, ini sebuah
keberpihakan untuk melawan raksasa pemodal yang merangsek sendi vital dan
bangunan penting masyaratkat.
Agenda itu terwujud dalam Festival Pesona Pasar Tradisi
sebagai cara memberi peyambutan bagi pemudik tahun ini. Mengambil lokasi tiga
pasar: Pasar Gede, Pasar Kembang dan Pasar Antik Triwindu (8-10 Juli 2016).
Perwujudan respons Seni terhadap salah satu Pilar Ekonomi yang pantas
diapresiasi.
Dalam kehadirannya, para seniman tidak menggusur pedagang
demi kegenitan sebuah panggung. Tetapi mereka tetap menampilkan performance
dengan serius dan bagus di antara pedagang dan seliweran pengunjung.
Di pasar kembang, simbah-simbah tetap meronce kembang meski
di pelataran tak jauh dari gelaran gadangannya, para penonton berjubel
menyaksikan penari atau musisi tengah menampilkan karya. Di Pasar Gede, ibu-ibu
kucel buruh gendong tetap santai mengiris penonton bahkan melintasi “panggung”
tanpa canggung. Justru inilah pentas seni yang cantik dan menarik. Seni tak
kehilangan martabat hanya karena “manggung di pasar”.
Yang tak kalah unik di Pasar Triwindu. Karena yang
diperdagangkan adalah benda-benda antik, maka para pelaku seni mencurahkan
kecerdasannya untuk mengekslporasi dagangan di pasar tersebut.
Adalah koreografer Nungki Nur Cahyani dengan tari berjudul
“Gray” dan Boby Ari Setiawan yang menari di pendapa dan lorong-lorong pasar nan
eksotik, menjamah benda-benda dagangan bahkan menggunakannya sebagai properti.
Kostum yang dikenakan pun, kostum keseharian seperti saat berkunjung ke pasar.
Persentuhan antara benda antik dan gerak penari itu
mencairkan kekakuan, menghapus batas antara pedagang, penonton dan penari. Para
pedagang tetap duduk di kiosnya saat penari melintasi mereka.
Bahkan Galih Naga Sena yang bermusik untuk mengiringi Boby
menari, ia menggunakan alat musik dagangan yang ada di pasar itu. Secara
spontan Galih mendatangi pedagang yang tengah duduk di sudut kiosnya, lalu
meminjam gamelan usur berdebu. Pedagang itu langsung mengangguk mengiyakan saat
Galih memilihnya.
Juga koper kulit jaman kolonial, radio transistor, sepeda
kumbang, peti dan dingklik tua, digunakan sebagai peranti saat Boby
menubuhkan aksara Jawa bersama anak balitanya, Alfatehq Clovis Indrawan (4
tahun). Perkawinan antara aksara Jawa yang dieksplorasi dengan benda antik
tersebut melahirkan daya magis juga romantisme sebuah jaman, membawa penonton
untuk meruang menembus waktu.
Bobby, Fatehq dan Galih "Silaturahmi Aksara"
Pasar Triwindu sudah menjadi salah satu tempat para seniman
berekspresi sejak penataan kota satu dekade lalu. Dibangun oleh Mangkunegara II
dengan nama Windujenar. Baru ketika peringatan 24 tahun jabatan, Pasar
Windujenar diganti menjadi Tri (3) Windu (8). menyatu dengan koridor Ngarsapura
yang cantik, pedestrian ramah pejalan kaki dilengkapi dengan bangku taman yang
nyaman disinggahi.
Dengan dihadirkannya perkawinan antara seni dengan salah
satu pilar ekonomi, pada momen Bakdan Neng Solo tahun ini, diharapkan pengunjung
semakin akrab dengan pasar tradisional sehingga mampu melahirkan rasa kangen
untuk kembali bersua, mengunjungi dan turut mendenyutkan jantungnya. Dan Solo
akan selalu riang menunggu kehadiran pemudik dengan memberi penyambutan secara
unik! []
Kredit
Foto:
Penari
: Nungki Cur Cahyani (fotografer Budhi Santosa)
Penari
: Boby Ari Setiawan (dokumentasi Boby)
Lokasi:
Pasar Triwindu
Publikasi Versi Cetak: Ruang Putih Jawa Pos, 17 Juli 2016