Dengarkanlah

Sabtu, 23 Juli 2016

Kini dan Silam – Tradisi dan Inovasi

 Elly D Luthan "Latar Jembar"


Mereka berani keluar dari kotak. Menembus cangkang yang selama ini membungkusnya  dan sudah terlanjur mengakar. Menafsir dengan cara dan gaya yang berbeda tentang tokoh-tokoh legendaris. Ketika seniman menghadapi sebuah karya, sekali pun karya itu semasyur epos Mahabharata, bagi mereka, tetap dimungkinkan untuk digarap sesuai perkembangan seni yang tak bisa mengelak jaman yang menuntut inovatif.
Tetapi itu mustahil terjadi apabila seniman tidak berpikiran terbuka dan mengayakan dirinya dengan berbagai literatur, banyak melakukan perbandingan serta kajian tentang tari. Karya itu adalah “Gelora”, sebuah tari kontemporer yang menafsir empat tokoh berlakon tragis di epos Mahabharata. Adalah Amba, Kunti, Drupadi dan Karna dengan gelora jiwa mereka masing-masing tatkala menghayati lakon hidup yang digariskan.




Padnecwara "Abimanyu Gugur"

Amba dengan “Gelora” ketegarannya, Kunti dilanda “Gelora” tatkala bertemu anak sulungnya; Karna. Drupadi dalam “Gelora” sebagai perempuan yang menolak dihina dan dilecehkan. “Gelora” Karna tatkala ia harus tanding atas nama “rasa perwira”. Mereka mengenakan kostum kontemporer sebagaimana gerakan tarinya juga bukan jenis tari klasik Jawa nan halus serba-menatap lantai. Tetapi gerakan yang ringas dan ringkas. Kadang lembut, kadang bergulung seperti gelora ombak samudra.

 Repertoar itu disajikan oleh Migatring Troop, Yogyakarta dalam peringatan Hari Tari Dunia ke 10 di Teater Besar kompleks ISI Surakarta pada 28-29 April 2016. Sebagai pembuktian bahwa Epos karya Begawan Vyasa ini tak pernah hilang daya tarik untuk di-muda-kan.
Dalam helatan ini, setidaknya ada dua repertoar yang mengambil biang dari Epos Mahabharata. Jika Migatring Troop mengambil tokoh-tokohnya dengan nafas Modern Dance, Retno Maruti bersama Padnecwara tetap konsisten dengan olah Tari Klasiknya sebagai iktiar untuk melestarikan Budaya Jawa (Tengah). Memetik kisah tentang “Abimanyu Gugur” dalam pertempuran Baratayudha, Mpu Tari kelahiran Solo ini tetap piawai melibatkan emosi penonton dengan Langendriyan-nya. Tatkala Abimanyu menjelang ajal di tangan musuh, langendriyan a la Retno Maruti mencapai puncak keindahannya.
Diiring gending, sambil menari ia mendaras kepedihan dengan suara patah-patah seolah si Lakon benar-benar kepayahan pada detik-detik terakhir hidupnya. Saya tetap turut tersedot pedih seperti tahun 2002 lalu ketika saya menyaksikan “Abimanyu Gugur” yang dipentaskan di tempat yang sama. Saya berani mengatakan, dalam hal langendriyan, di negeri ini Retno Maruti belum ada tandingan.
Saya tidak menganggapnya usur atau kolot, tetapi justru itu tontonan pas sebagai ajakan bagi generasi teknologi tinggi ini untuk belajar olah rasa dengan cara mengenali kebudayaannya sendiri dan kebudayaan bangsa asing bukan hanya yang kini, tetapi juga yang silam.
Migatring Troop dan Padnecwara adalah salah satu bentuk penghayatan dengan cara masing-masing terhadap nilai-nilai luhur dan akar budaya seiring dengan perkembangan jamannya. Karena karya seni sangat berpengaruh pada pembentukan watak dan pembinaan mental Bangsa dalam kancah dunia.

Elly D Luthan "Latar Jembar"

Selain dari dua karya apik yang saya sandingkan tersebut, yang tak kalah menarik adalah “Latar Jembar” persembahan dari Dedi Luthan Dance Company -Jakarta dengan koreografer Elly D Luthan. “Latar Jembar” adalah penggambaran interaksi sosial masyarakat Jawa di masa ketika pelataran dengan rumah inti hanya dibatasi pintu sehingga hubungan antar-warga begitu akrab dan guyup. Hilangnya latar jembar oleh kebutuhan jaman telah melatari lahirnya karya ini. “Latar Jembar” adalah sebentuk penghargaan pada Sang Silam sebab kita harus hidup bersama Sang Kini. 

Padnecwara "Abimanyu Gugur"

Penghormatan
Pada 10 tahun Solo memperingati Hari Tari Dunia, ISI Surakarta memaksimalkan kurasi dari berbagai daerah sehingga perlu memberi bonus waktu. Dengan mengambil tema “Menyemai Rasa Semesta Raga”, tahun ini bukan 24 jam menari tetapi 36 jam (dibuka pada 28 April pukul 16.00 WIB, ditutup pada 29 April pukul 16.00 WIB kemudian pertunjukan dilanjutkan hingga pukul 00.00 WIB) Pembengkakan waktu tersebut adalah konsekuensi dari niat untuk memberi penghormatan setinggi-tingginya pada seni dan budaya yang diperuntukkan masyarakat dari lapisan mana pun tanpa kecuali.
250 penampil terpusat di Kompleks ISI Surakarta, digelar di stage yang berbeda tetapi waktu bersamaan sehingga penonton bisa memilih apakah ingin menyaksikan tari di Teater Kecil, Teater Besar, Pendapa ISI, Kantor Rektorat atau pelataran Kampus ISI.
Selain pementasan, diadakan juga Seminar Internasional, screening film dan peluncuran buku, semua tentang tari. Semoga ketika mengapresiasi tatkala dunia memilih hari khusus untuk memberi penghormatan pada seni tari, Solo semakin mantab mengenalkan kekayaan seni tradisi di kancah dunia. []


Versi Cetak : Ruang Putih Jawapos, 8 Mei 2016
Fotografer : Daniel La 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar