Elly D Luthan "Latar Jembar"
Mereka berani keluar dari kotak. Menembus cangkang
yang selama ini membungkusnya dan sudah
terlanjur mengakar. Menafsir dengan cara dan gaya yang berbeda tentang
tokoh-tokoh legendaris. Ketika seniman menghadapi sebuah karya, sekali pun
karya itu semasyur epos Mahabharata, bagi mereka, tetap dimungkinkan untuk
digarap sesuai perkembangan seni yang tak bisa mengelak jaman yang menuntut
inovatif.
Tetapi itu mustahil terjadi apabila seniman tidak berpikiran
terbuka dan mengayakan dirinya dengan berbagai literatur, banyak melakukan
perbandingan serta kajian tentang tari. Karya itu adalah “Gelora”, sebuah tari
kontemporer yang menafsir empat tokoh berlakon tragis di epos Mahabharata. Adalah
Amba, Kunti, Drupadi dan Karna dengan gelora jiwa mereka masing-masing tatkala
menghayati lakon hidup yang digariskan.
Padnecwara "Abimanyu Gugur"
Amba dengan “Gelora” ketegarannya, Kunti dilanda “Gelora”
tatkala bertemu anak sulungnya; Karna. Drupadi dalam “Gelora” sebagai perempuan
yang menolak dihina dan dilecehkan. “Gelora” Karna tatkala ia harus tanding
atas nama “rasa perwira”. Mereka mengenakan kostum kontemporer sebagaimana
gerakan tarinya juga bukan jenis tari klasik Jawa nan halus serba-menatap
lantai. Tetapi gerakan yang ringas dan ringkas. Kadang lembut, kadang bergulung
seperti gelora ombak samudra.
Repertoar itu disajikan oleh Migatring Troop, Yogyakarta
dalam peringatan Hari Tari Dunia ke 10 di Teater Besar kompleks ISI Surakarta
pada 28-29 April 2016. Sebagai pembuktian bahwa Epos karya Begawan Vyasa ini
tak pernah hilang daya tarik untuk di-muda-kan.
Dalam helatan ini, setidaknya ada dua repertoar yang
mengambil biang dari Epos Mahabharata. Jika Migatring Troop mengambil
tokoh-tokohnya dengan nafas Modern Dance, Retno Maruti bersama Padnecwara tetap
konsisten dengan olah Tari Klasiknya sebagai iktiar untuk melestarikan Budaya
Jawa (Tengah). Memetik kisah tentang “Abimanyu Gugur” dalam pertempuran Baratayudha,
Mpu Tari kelahiran Solo ini tetap piawai melibatkan emosi penonton dengan
Langendriyan-nya. Tatkala Abimanyu menjelang ajal di tangan musuh, langendriyan
a la Retno Maruti mencapai puncak keindahannya.
Diiring gending, sambil menari ia mendaras kepedihan dengan
suara patah-patah seolah si Lakon benar-benar kepayahan pada detik-detik
terakhir hidupnya. Saya tetap turut tersedot pedih seperti tahun 2002 lalu
ketika saya menyaksikan “Abimanyu Gugur” yang dipentaskan di tempat yang sama. Saya
berani mengatakan, dalam hal langendriyan, di negeri ini Retno Maruti belum ada
tandingan.
Saya tidak menganggapnya usur atau
kolot, tetapi justru itu tontonan pas sebagai ajakan bagi generasi teknologi
tinggi ini untuk belajar olah rasa dengan cara mengenali
kebudayaannya sendiri dan kebudayaan bangsa asing bukan hanya yang kini, tetapi
juga yang silam.
Migatring
Troop dan Padnecwara adalah salah satu bentuk penghayatan dengan cara
masing-masing terhadap nilai-nilai luhur dan akar budaya seiring dengan
perkembangan jamannya. Karena karya seni sangat berpengaruh pada pembentukan
watak dan pembinaan mental Bangsa dalam kancah dunia.
Elly D Luthan "Latar Jembar"
Selain
dari dua karya apik yang saya sandingkan tersebut, yang tak kalah menarik
adalah “Latar Jembar” persembahan dari Dedi Luthan Dance Company -Jakarta
dengan koreografer Elly D Luthan. “Latar Jembar” adalah penggambaran interaksi
sosial masyarakat Jawa di masa ketika pelataran dengan rumah inti hanya
dibatasi pintu sehingga hubungan antar-warga begitu akrab dan guyup. Hilangnya
latar jembar oleh kebutuhan jaman telah melatari lahirnya karya ini. “Latar
Jembar” adalah sebentuk penghargaan pada Sang Silam sebab kita harus hidup bersama
Sang Kini.
Padnecwara "Abimanyu Gugur"
Penghormatan
Pada 10 tahun Solo memperingati Hari Tari Dunia, ISI
Surakarta memaksimalkan kurasi dari berbagai daerah sehingga perlu memberi
bonus waktu. Dengan mengambil tema “Menyemai Rasa Semesta Raga”, tahun ini
bukan 24 jam menari tetapi 36 jam (dibuka pada 28 April pukul 16.00 WIB,
ditutup pada 29 April pukul 16.00 WIB kemudian pertunjukan dilanjutkan hingga
pukul 00.00 WIB) Pembengkakan waktu tersebut adalah konsekuensi dari niat untuk
memberi penghormatan setinggi-tingginya pada seni dan budaya yang diperuntukkan
masyarakat dari lapisan mana pun tanpa kecuali.
250 penampil terpusat di Kompleks ISI Surakarta, digelar di stage yang berbeda tetapi waktu bersamaan
sehingga penonton bisa memilih apakah ingin menyaksikan tari di Teater Kecil,
Teater Besar, Pendapa ISI, Kantor Rektorat atau pelataran Kampus ISI.
Selain
pementasan, diadakan juga Seminar Internasional, screening film dan peluncuran buku, semua tentang tari. Semoga
ketika mengapresiasi tatkala dunia memilih hari khusus untuk memberi
penghormatan pada seni tari, Solo semakin mantab mengenalkan kekayaan seni
tradisi di kancah dunia. []
Versi Cetak : Ruang Putih Jawapos, 8 Mei 2016
Fotografer : Daniel La
Tidak ada komentar:
Posting Komentar