Dengarkanlah

Rabu, 26 April 2017

Cara Djarot Menggembalakan Angin Kreativitasnya






Lampu minyak menyala terpasang pada pilar-pilar kecil pendapa, memberi nuansa remang dan suwung ketika seorang penari memasuki panggung dengan membawa sebatang sada (lidi) laiknya gembala membawa tongkat atau cambuk untuk menghalau "yang digembalakan".
Sambil menari, ia berpuisi tentang masalalu, tentang kehidupan yang terus berjalan, tentang oposisi biner laki-laki dan perempuan. Kemudian dari sisi kiri seorang penari bergabung di panggung juga membawa lidi, berjalan pelan dan melantunkan tembang Jawa yang membuat pendapa remang itu terasa semakin magis.



Lalu satu persatu penari menyusul, hingga tujuh penari berada di atas panggung. Berkostum kebaya lurik cokelat dipadu kain hitam. Garapan teater tari berkonsep Bedaya itu diberi judul: Angon Angin. Dipentaskan oleh Studio Taksu di Pendapa Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah, 17 April 2017. Berkat dukungan dari beberapa komunitas tari dan Yayayasan Kelola, Angon Angin direncanakan akan dipentaskan tujuh kali. Pada 20 April 2017 di Gedung Dewan Kesenian Malang adalah pementasan keenam dan yang ketujuh akan dipetaskan di Surabaya pada 27 April 2017 di Gedung  Pertunjukan Sawunggaling, UNESA Surabaya.
Angon Angin bukan sekadar tari. Karya ini adalah ekspresi keberanian Djarot B Darsono selaku koreografer dan dramaturg dalam melakukan eksprimen dengan memadukan unsur-unsur tari tradisi dan kontemporer serta elemen-elemen musik beragam. Di dalamnya ada perkawinan antara dialog, tari dan puisi. Latar belakang Djarot yang pernah bergabung di Teater Gapit sangat berpengaruh dalam karya ini.
Pun dengan musiknya, hadir silih berganti dari suara gamelan, orkestra dan suara denting-denting sunyi garapan Sigit Pratama dan Joko Porong. Memang terkesan patah-patah, susul menyusul, tetapi agaknya justru inilah pilihan untuk mendukung gagasan Djarot dalam  menghadirkan teater tari kekinian tetapi tidak meninggalkan nafas tari tradisi.
Sada atau lidi yang dipilih menjadi properti pun mempunyai fungsi sebagai penampil elemen bunyi. Desingnya magis, menjadi jeda antara gerak tari dan puisi. Lidi juga menjadi semacam aba-aba atau penegasan frasa-frasa. Ini paling khas dan menarik, karena lidi diambil bukan sekadar properti, tetapi kelenturannya mengimbangi gerak penari dan sekali waktu menjadi senjata, sebuah metafora yang menggambarkan pentingnya manusia berjuang keras tetapi luwes dalam menghadapi perubahan jaman. Menari dengan lidi membuat bentuk pertunjukan ini berkarakter dan bernyawa.


Tetapi pada pertengahan presentasinya, di mana tujuh penari terlibat dialog di antara desing lidi, kalimat panjang yang diucapkan hampir berbarengn itu justru berpotensi membuat lelah karena penonton tidak bisa mendengar kalimat secara utuh. Penggalan-penggalannya justru terbuang sia-sia. Apa yang ingin diungkap melalui teks yang sangat mungkin bagus, justru lepas tak tertangkap, suara-suara itu hanya menjadi seperti saling sanggah.
Upaya menghadirkan bentuk lain ini mungkin dianggap terlalu berisiko. Karena teks puisi yang disertakan sangat panjang dan penari harus menghapal sambil tubuh terus menari. Maka sangat mungkin kata-kata yang diucapkan meleset (salah ucap) sehingga bagi yang mendengarkan dengan cermat akan menangkap frasa yang sulit ditemukan maknanya selain sekadar bunyi yang terdengar genit di telinga. 




Sepertinya Djarot ada “banyak mau” dalam Angon Angin ini. Ia ingin menuangkan segala kegelisahan tentang apa yang diamatinya dalam lingkungan. Djarot menjadikan Angon Angin sebuah alegori, berbicara tentang pengembaraan manusia menyusuri waktu. Tentang pentingnya manusia mempunyai daya tahan untuk menghadapi perubahan. Manusia yang bertahan adalah ia yang lentur seperti lidi.
Perubahan jaman yang diekspresikan dalam puisi, perjuangan yang terus ada yang diekspresikan lewat iringan musik semacam musik-musik peperangan. Puncaknya, kegelisahan itu ditegaskan oleh Djarot saat menutup nomor tari ini dengan memperdengarkan rekaman orasi Bung Karno tentang revolusi.          
Cukup mengagetkan bagi saya atas pilihan ini. Karena konsep Bedayan yang saya nikmati di awal secara lumer mengalun tiba-tiba diledakkan dengan rekaman pidato Soekarno. Sepertinya tak cukup bagi Djarot untuk melepaskan kegelisahannya hanya dengan teks-teks puisi.
Secara teknis, tujuh penari itu luwes menguasai panggung dengan formasi yang berubah-ubah. Nomor tari hampir 45 menit membuka segala bentuk interpretasi apakah manusia menggembalakan angin atau angin lah yang menggembalakan manusia mengingat angin menjadi saksi perubahan yang dihadirkan oleh manusia dalam menanggapi gerakan komsos, perjalanan jagad raya dan peristiwa-peristiwa yang bersumber dari pikiran manusia.
Namun secara keseluruhan tari beserta elemen yang dihadirkannya sudah menjadi media yang digunakan Djarot untuk menggembalakan angin kreativitasnya, ia bereksperimen dan berinovasi. Semoga Angon Angin terus bermetamorfosa menuju karya selanjutnya dan turut mewarnai perkembangan tari dan seni pertunjukan di Indonesia. 


Tulisan versi cetak : Saujana, Jawapos 23 April 2017
Fotografer: Abbiyu Ammar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar