Lampu
minyak menyala terpasang pada pilar-pilar kecil pendapa, memberi nuansa remang
dan suwung ketika seorang penari memasuki panggung dengan membawa sebatang sada
(lidi) laiknya gembala membawa tongkat atau cambuk untuk menghalau "yang digembalakan".
Sambil
menari, ia berpuisi tentang masalalu, tentang kehidupan yang terus berjalan,
tentang oposisi biner laki-laki dan perempuan. Kemudian dari sisi kiri seorang
penari bergabung di panggung juga membawa lidi, berjalan pelan dan melantunkan
tembang Jawa yang membuat pendapa remang itu terasa semakin magis.
Lalu
satu persatu penari menyusul, hingga tujuh penari berada di atas panggung.
Berkostum kebaya lurik cokelat dipadu kain hitam. Garapan teater tari berkonsep
Bedaya itu diberi judul: Angon Angin. Dipentaskan oleh Studio Taksu di Pendapa
Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah, 17 April 2017. Berkat dukungan dari
beberapa komunitas tari dan Yayayasan Kelola, Angon Angin direncanakan akan
dipentaskan tujuh kali. Pada 20 April 2017 di Gedung Dewan Kesenian Malang
adalah pementasan keenam dan yang ketujuh akan dipetaskan di Surabaya pada 27
April 2017 di Gedung Pertunjukan
Sawunggaling, UNESA Surabaya.
Angon
Angin bukan sekadar tari. Karya ini adalah ekspresi keberanian Djarot B Darsono
selaku koreografer dan dramaturg dalam melakukan eksprimen dengan memadukan
unsur-unsur tari tradisi dan kontemporer serta elemen-elemen musik beragam. Di
dalamnya ada perkawinan antara dialog, tari dan puisi. Latar belakang Djarot
yang pernah bergabung di Teater Gapit sangat berpengaruh dalam karya ini.
Pun
dengan musiknya, hadir silih berganti dari suara gamelan, orkestra dan suara
denting-denting sunyi garapan Sigit Pratama dan Joko Porong. Memang terkesan
patah-patah, susul menyusul, tetapi agaknya justru inilah pilihan untuk
mendukung gagasan Djarot dalam
menghadirkan teater tari kekinian tetapi tidak meninggalkan nafas tari
tradisi.
Sada
atau lidi yang dipilih menjadi properti pun mempunyai fungsi sebagai penampil
elemen bunyi. Desingnya magis, menjadi jeda antara gerak tari dan puisi. Lidi
juga menjadi semacam aba-aba atau penegasan frasa-frasa. Ini paling khas dan
menarik, karena lidi diambil bukan sekadar properti, tetapi kelenturannya
mengimbangi gerak penari dan sekali waktu menjadi senjata, sebuah metafora yang
menggambarkan pentingnya manusia berjuang keras tetapi luwes dalam menghadapi
perubahan jaman. Menari dengan lidi membuat bentuk pertunjukan ini berkarakter
dan bernyawa.
Tetapi
pada pertengahan presentasinya, di mana tujuh penari terlibat dialog di antara
desing lidi, kalimat panjang yang diucapkan hampir berbarengn itu justru
berpotensi membuat lelah karena penonton tidak bisa mendengar kalimat secara
utuh. Penggalan-penggalannya justru terbuang sia-sia. Apa yang ingin diungkap
melalui teks yang sangat mungkin bagus, justru lepas tak tertangkap, suara-suara
itu hanya menjadi seperti saling sanggah.
Upaya
menghadirkan bentuk lain ini mungkin dianggap terlalu berisiko. Karena teks
puisi yang disertakan sangat panjang dan penari harus menghapal sambil tubuh
terus menari. Maka sangat mungkin kata-kata yang diucapkan meleset (salah ucap)
sehingga bagi yang mendengarkan dengan cermat akan menangkap frasa yang sulit
ditemukan maknanya selain sekadar bunyi yang terdengar genit di telinga.
Sepertinya
Djarot ada “banyak mau” dalam Angon Angin ini. Ia ingin menuangkan segala
kegelisahan tentang apa yang diamatinya dalam lingkungan. Djarot menjadikan
Angon Angin sebuah alegori, berbicara tentang pengembaraan manusia menyusuri
waktu. Tentang pentingnya manusia mempunyai daya tahan untuk menghadapi
perubahan. Manusia yang bertahan adalah ia yang lentur seperti lidi.
Perubahan
jaman yang diekspresikan dalam puisi, perjuangan yang terus ada yang
diekspresikan lewat iringan musik semacam musik-musik peperangan. Puncaknya,
kegelisahan itu ditegaskan oleh Djarot saat menutup nomor tari ini dengan
memperdengarkan rekaman orasi Bung Karno tentang revolusi.
Cukup
mengagetkan bagi saya atas pilihan ini. Karena konsep Bedayan yang saya nikmati di
awal secara lumer mengalun tiba-tiba diledakkan dengan rekaman pidato Soekarno.
Sepertinya tak cukup bagi Djarot untuk melepaskan kegelisahannya hanya dengan
teks-teks puisi.
Secara
teknis, tujuh penari itu luwes menguasai panggung dengan formasi yang
berubah-ubah. Nomor tari hampir 45 menit membuka segala bentuk interpretasi
apakah manusia menggembalakan angin atau angin lah yang menggembalakan manusia
mengingat angin menjadi saksi perubahan yang dihadirkan oleh manusia dalam
menanggapi gerakan komsos, perjalanan jagad raya dan peristiwa-peristiwa yang
bersumber dari pikiran manusia.
Namun
secara keseluruhan tari beserta elemen yang dihadirkannya sudah menjadi media
yang digunakan Djarot untuk menggembalakan angin kreativitasnya, ia bereksperimen
dan berinovasi. Semoga Angon Angin terus bermetamorfosa menuju karya
selanjutnya dan turut mewarnai perkembangan tari dan seni pertunjukan di
Indonesia.
Tulisan versi cetak : Saujana, Jawapos 23 April 2017
Fotografer:
Abbiyu Ammar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar