Labirin
Koreografer : Retno
Sulistyorini
Fotografer
: Budi Santosa (Sanggar Seni Kemasan)
Labirin
adalah tantangan dan ladang ekspolarasi. Menyusuri sebuah labirin adalah seni
berpikir, seni mencari jalan keluar tatkala bertemu kebuntuan dan seni
menyiasati jebakan dalam situasi yang membingungkan. Inilah yang menjadi sumber
inspirasi bagi Retno Sulistyorini dalam menampilkan karya terbarunya yang
dipentaskan pada 9-10 Juni 2015 di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah.
Dalam
mitologi Yunani, Labirin adalah sebuah tempat yang rumit berliku, yang
dirancang oleh arsitek Daidalos untuk menyembunyikan monster Minotaur –Manusia
berkepala Banteng. Setiap tahun, warga Athena harus mengirim tujuh pasang
manusia muda ke Labirin tempat kediaman Minotaur. Tetapi akhirnya monster itu
dibunuh oleh Theseus, pahlawan Yunani yang menyamar menjadi korban. Dalam misi
itu, Theseus dibantu oleh Ariadne, putri Raja Kreta dengan memberinya sebuah
pedang untuk membunuh Minotaur dan segulung benang yang harus ia urai ketika
memasuki Labirin lalu dirunut, digulung ulang oleh Thesus agar bisa kembali,
tidak terjebak dalam kerumitan labirin, lalu kelelahan menghadapi kebuntuan.
Tempat
yang rumit penuh teka-teki dan berbahaya itu oleh Retno ditubuhkan menjadi
karya yang hening. Penonton diajak memasuki suasana panggung yang gelap. Lamat-lamat
lalu menguat, secercah sinar menerangi panggung yang berlatar hitam, diiring
musik seperti suara benda-benda saling berbenturan. Empat penari dengan busana
stelan atas putih, bawah kelabu itu memasuki panggung dengan membelakangi
penonton.
Empat
penari merepresentasikan sebuah labirin yang berputar-putar dengan tubuh liat
dan keseimbangan terjaga. Gerak sebelah kaki yang melingkar-lingkar, lalu tubuh
berputar-putar. Nyaris sepanjang menari, tangan mereka terkunci ke belakang,
saling bertaut seperti diborgol. Ada kala penari berpencar, mencari titik
keluar, lalu bertemu, berkelok bersama-sama dan terjebak lagi.
Selain
bentuk tari yang khas, daya pikat dalam Labirin ini salah satunya adalah
bunyi-bunyi yang meruang. Konsep musikal ini terinspirasi dari bunyi-bunyi yang
akrab dengan kehidupan sehari-hari, yang tanpa disadari juga berpontensi
menjadi labirin. Suara pesawat, suara knalpot kendaraan yang meraung lalu
meruang dari jauh kemudian mendekat dan menjauh lagi. Suara burung dan angin
bertiup, bahkan bunyi keheningan yang mengiringi gerak penari dalam menaklukkan
kebuntuan.
Komposisi
gerak itu sangat mengandalkan kepercayaan sesama penari, sehingga raga yang
terkadang berjalan mengendap saling membelakangi atau berpapas, tidak
bersinggungan. Kadang beriringan, bersama-sama menempuh sudut-sudut,
meningkar-lingkar lalu kelokan tajam yang didramatisasi dengan suara iringan
yang mengeras dan bertempo cepat lalu berhenti mendadak.
Ada satu
bagian yang sangat indah, yang saya tangkap sebagai tanggapan atas rumitnya
sebuah jalan. Yaitu pada saat tangan penari saling tarik dan tubuh kedua penari
itu berkelindan. Seolah dalam sebuah bentuk keteraturan mereka mencari jalan
pemecahan sebuah teka-teki. Kelindan antara kebuntuan dan putaran-putaran itu
digambarkan begitu misterius namun memikat bagi para pencari makna.
Pertunjukan
tari itu hanya 30 menit, tetapi cukup menguras energi bagi penontonnya. Karena
paduan gerak tubuh yang liat dan musik yang melatari itu cukup berat tanpa jeda
seolah tak memberi kesempatan pada penonton bahkan hanya untuk menghela nafas.
Mengajak mata penonton terus menatap dan otak terus berpikir. Penonton dibawa
memasuki labirin yang dihadirkan dalam tari garapannya.
Gagasan Retno
untuk mentransformasi Labirin ke dalam bentuk tari sebenarnya sudah ia godhog cukup lama. Tetapi baru awal
tahun ini ia menggarapnya secara serius dan menyiapkannya selama dua bulan
untuk dihadirkan di hadapan publik.
Ia kaji
dan renungi sebuah wilayah yang penuh jebakan dan kerumitan itu, dan diwujudkan
menjadi moment artistik. Sebuah bentuk seni paduan antara gerak dan bunyi,
elemen kehidupan keseharian.
Retno
mengajak berkontempelasi, bahwa di dalam kehidupan manusia yang semakin
dimodernkan, sangat mungkin tercipta labirin-labirin yang membuat manusia putus
asa. Dan karya ini adalah tanggapan serta apresiasi Retno terhadap wilayah yang
penuh teka-teki dan misteri itu. []