Dengarkanlah

Senin, 22 Juni 2015

Ketika Sebuah Suwung Meng-Ada



Teater-Tari Kolaborasi Indonesia-Jepang
Sebuah Penghormatan untuk Ki Slamet Gundono
Judul                           : To Belong/Suwung
Koreografer-Sutradara: Yudi Ahmad Tajudin dan Akiko Kitamura
Foto                             : Dokumen Panitia







 
Bagaimana cara agar bisa berdialog dengan dzat tak kasat mata?
Apakah jika sesuatu tidak nampak dan tak dapat disentuh secara fisik,
berarti sesuatu itu tak ada?
Pertanyaan itu menjadi permenungan panjang lalu menjadi pijakan dan titik tolak terciptanya sebuah teater-tari lintas disiplin. Dalam karya itu, bukan hanya intelektualitas personil saja yang dikelindankan, tetapi berbagai disiplin seni dan alirannya juga berhasil di-dialog-kan untuk saling mengisi. Sehingga To Belong/Suwung bisa meng-Ada dan menjadi sebuah karya yang sungguh beda.


       
           




Seperti dawai-dawai, helai-helai tali yang dibentuk menjadi Tirai panjang sewarna gading itu melatari pementasan To Belong/Suwung  yang dipersembahkan untuk mendiang Slamet Gundono, pada 20 Desember 2014 di Gedung Teater Besar ISI Surakarta.
Tirai yang lazimnya berfungsi sebagai sekat, batas atau pemisah antar-ruang, oleh Yudi dan Akiko dipresentasikan sebagai penghubung satu “Ada” dengan “Ada” lain yang ber-Ruh sehingga menjadi “sesuatu” yang mengajak kita untuk merenung bahwa batas itu sesungguhnya tak berbatas dan memiliki esensi yang layak untuk kita kaji. Dari situlah kemudian tirai-tirai itu tak sekadar dekorasi, tetapi menjadi bagian dari performance yang mampu menampilkan citarasa kontemporer yang bukan hanya indah dan penuh vitalitas namun juga reflektif. To Belong/Suwung adalah sebuah gagasan untuk menukik ke dalam batin, menemui kesejatian tentang nilai-nilai spiritual dalam hidup secara personal.
Pada permukaan tirai-tirai itu, dengan sangat artistik ditampilkan seni visual yang menembakkan bayang-bayang, imaji grafis serta animasi yang berkelindan dengan gerak tari yang ritmis dan dinamis. Tari dan tirai menjadi perwujudan sebuah kontempelasi. Ada satu fragmen di mana penari seolah berdialog dengan bayang-bayang yang ditembakkan pada tirai-tirai itu. Bayangan penari yang masuk pada bayangan ruang kosong, lalu terjadi dialektika, percakapan diri dengan dzat tak kasat mata. Bayang-bayang itu adalah upaya penggambaran “ada dalam ketiadaan” dan “tiada namun sesungguhnya ada”. Atau mengambil istilah Martin Heidegger (Filsuf dari Jerman) keniscayaan itu dikenalkan sebagai Fenomenologi yang kurang lebih berarti “membiarkan Ada terlihat”. Dan dalam teater-tari ini, Yudi dan Akiko telah berhasil merepresentasikan Suwung “ sebagai Ada yang memerlihatkan diri”.  




To Belong/Suwung tidak monoton, bahkan berisi banyak kejutan karena menghadirkan lintas disliplin seni yang tak tanggung-tanggung. Diwujudkan ke dalam perkawinan seni tari dan seni beladiri Indonesia-Jepang.  Endah Laras mengiring gerak penari dengan suara merdu yang khas beserta petikan ukulele-nya. Lalu suara gesekan biola, disusul rekaman suara tembang khas Banyumasan Ki Slamet Gundono tentang nilai-nilai kehidupan. Beralih pada musik hip-hop garapan Mohamad Marzuki. Semua menjadi iringan pada bagian gerak tari yang kadang hening sunyi dan ngelangut, kadang rencak dan kocak.
Pada satu bagian tari, terjadi dialog dalam dua bahasa Indonesia-Inggris. Lalu tampilan menjadi segar oleh gerak tubuh dan celetukan Danang Pamungkas –penari Indonesia selain Luluk Ari dan Rianto Dewandaru yang berkolaborasi gerak dialog tubuh dengan 3 penari Jepang (Kana Ote, Lion Kawai dan Yuki Nishimura). Semua penari Indonesia-Jepang tampak sekali memiliki kemampuan olah tubuh yang selevel. Liat dan penuh energi.



Tetapi dalam pementasan itu, ada satu bagian di mana semua elemen seni saling tindih dan himpit sehingga sulit dinikmati. Chaos. Suara Endah Laras yang bersyair sambil memainkan wayang suket menjadi tak jelas karena kalah oleh musik audio yang cukup gaduh, ditambah para penari yang bergerak begitu cepat tanpa jeda dalam permainan lighting yang kuat, sehingga terkesan semua bersirebut perhatian penonton. Itu cukup melelahkan. 
Namun secara keseluruhan, To Belong/Suwung adalah karya seni yang gemilang. Penyatuan tubuh-tubuh Asia yang tak sekadar rindu hal yang baru, tetapi juga tidak meninggalkan tradisi olah batin, menganggap percakapan dengan diri dan laku spiritual adalah penting. Bagi Yudi dan Akiko, Suwung adalah Sang Ada. []

Jawapos, Ruang Putih, 4 Januari 2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar