Teater-Tari Kolaborasi
Indonesia-Jepang
Sebuah Penghormatan untuk Ki Slamet
Gundono
Judul
: To Belong/Suwung
Koreografer-Sutradara: Yudi Ahmad
Tajudin dan Akiko Kitamura
Foto
: Dokumen Panitia
Bagaimana cara agar bisa berdialog
dengan dzat tak kasat mata?
Apakah
jika sesuatu tidak nampak dan tak dapat disentuh secara fisik,
berarti
sesuatu itu tak ada?
Pertanyaan itu menjadi permenungan
panjang lalu menjadi pijakan dan titik tolak terciptanya sebuah teater-tari
lintas disiplin. Dalam karya itu, bukan hanya intelektualitas personil saja
yang dikelindankan, tetapi berbagai disiplin seni dan alirannya juga berhasil
di-dialog-kan untuk saling mengisi. Sehingga To Belong/Suwung bisa
meng-Ada dan menjadi sebuah karya yang sungguh beda.
Seperti dawai-dawai, helai-helai tali
yang dibentuk menjadi Tirai panjang sewarna gading itu melatari pementasan To
Belong/Suwung yang dipersembahkan untuk mendiang Slamet Gundono, pada
20 Desember 2014 di Gedung Teater Besar ISI Surakarta.
Tirai yang lazimnya berfungsi sebagai
sekat, batas atau pemisah antar-ruang, oleh Yudi dan Akiko dipresentasikan
sebagai penghubung satu “Ada” dengan “Ada” lain yang ber-Ruh sehingga menjadi
“sesuatu” yang mengajak kita untuk merenung bahwa batas itu sesungguhnya tak
berbatas dan memiliki esensi yang layak untuk kita kaji. Dari situlah kemudian
tirai-tirai itu tak sekadar dekorasi, tetapi menjadi bagian dari performance
yang mampu menampilkan citarasa kontemporer yang bukan hanya indah dan penuh
vitalitas namun juga reflektif. To Belong/Suwung adalah
sebuah gagasan untuk menukik ke dalam batin, menemui kesejatian tentang
nilai-nilai spiritual dalam hidup secara personal.
Pada permukaan tirai-tirai itu, dengan
sangat artistik ditampilkan seni visual yang menembakkan bayang-bayang, imaji
grafis serta animasi yang berkelindan dengan gerak tari yang ritmis dan
dinamis. Tari dan tirai menjadi perwujudan sebuah kontempelasi. Ada satu
fragmen di mana penari seolah berdialog dengan bayang-bayang yang ditembakkan
pada tirai-tirai itu. Bayangan penari yang masuk pada bayangan ruang kosong,
lalu terjadi dialektika, percakapan diri dengan dzat tak kasat
mata. Bayang-bayang itu adalah upaya penggambaran “ada dalam ketiadaan”
dan “tiada namun sesungguhnya ada”. Atau mengambil istilah Martin Heidegger
(Filsuf dari Jerman) keniscayaan itu dikenalkan sebagai Fenomenologi yang
kurang lebih berarti “membiarkan Ada terlihat”. Dan dalam teater-tari ini, Yudi
dan Akiko telah berhasil merepresentasikan Suwung “ sebagai Ada yang
memerlihatkan diri”.
To Belong/Suwung tidak
monoton, bahkan berisi banyak kejutan karena menghadirkan lintas disliplin seni
yang tak tanggung-tanggung. Diwujudkan ke dalam perkawinan seni tari dan seni
beladiri Indonesia-Jepang. Endah Laras mengiring gerak penari dengan
suara merdu yang khas beserta petikan ukulele-nya. Lalu suara gesekan biola,
disusul rekaman suara tembang khas Banyumasan Ki Slamet Gundono tentang
nilai-nilai kehidupan. Beralih pada musik hip-hop garapan
Mohamad Marzuki. Semua menjadi iringan pada bagian gerak tari yang kadang
hening sunyi dan ngelangut, kadang rencak dan kocak.
Pada satu bagian tari, terjadi dialog
dalam dua bahasa Indonesia-Inggris. Lalu tampilan menjadi segar oleh gerak
tubuh dan celetukan Danang Pamungkas –penari Indonesia selain Luluk Ari dan
Rianto Dewandaru yang berkolaborasi gerak dialog tubuh dengan 3 penari Jepang
(Kana Ote, Lion Kawai dan Yuki Nishimura). Semua penari Indonesia-Jepang tampak
sekali memiliki kemampuan olah tubuh yang selevel. Liat dan penuh energi.
Tetapi dalam pementasan itu, ada satu
bagian di mana semua elemen seni saling tindih dan himpit sehingga sulit
dinikmati. Chaos.
Suara Endah Laras yang bersyair sambil memainkan wayang suket menjadi tak jelas
karena kalah oleh musik audio yang cukup gaduh, ditambah para penari yang
bergerak begitu cepat tanpa jeda dalam permainan lighting yang
kuat, sehingga terkesan semua bersirebut perhatian penonton. Itu cukup
melelahkan.
Namun secara keseluruhan, To Belong/Suwung
adalah karya seni yang gemilang. Penyatuan tubuh-tubuh Asia yang tak sekadar
rindu hal yang baru, tetapi juga tidak meninggalkan tradisi olah batin,
menganggap percakapan dengan diri dan laku spiritual adalah penting. Bagi Yudi
dan Akiko, Suwung adalah Sang Ada. []
Jawapos, Ruang Putih, 4 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar