Dengarkanlah

Selasa, 23 Juni 2015

Tetap Berdaya di Tengah Krisis Budaya


   Fotografer : Budi Santosa (Sanggar Seni Kemasan)                                    



Malam itu gerah sekali. Hujan urung turun ke Bumi meski sudah mengabarkan hadirnya dengan gerimis tipis dan mendung hitam menggantung di langit Solo. Atas undangan seorang teman, malam itu saya duduk di salah satu kursi di Pendapa Ageng Taman Budaya Jawa Tengah yang megah dengan pilar-pilar berukir dan lampu-lampu gantung nan klasik. Dekorasi bernuansa hitam dengan ornament bambu dan seperangkat gamelan serta alat musik tradisional Jawa sudah tertata di panggung.   
Semua kursi yang disediakan sudah terisi penuh, bahkan ada yang duduk meleseh di samping kanan dan kiri panggung ketika suara gong menggema pertanda acara akan dimulai. Malam itu sedang digelar pembukaan Festival Seni Tradisi Jawa tengah 2015 yang berlangsung mulai 26 – 29 Mei dengan menghadirkan 15 kelompok seni dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Tengah antara lain Kendal, Semarang, Banyumas, Pati, Batang, Purbalingga, Magelang, Klaten, Sukaharjo, Sragen dan Solo sebagai tuan rumah. Pentas musik, tari dan teater tradisional yang dipentaskan pada tahun ini mengambil tema: Folklore Nusantara. Dalam Festival ini, bukan hanya musik, tari dan seni peran saja yang ditampilkan, tetapi juga seni lukis.
Sebuah agenda seni yang beriktiar menghidupi dan mengembangkan kesenian tradisi agar tetap dimiliki oleh masyarakat di mana kesenian itu dilahirkan, bersumber dan berakar. Hal ini dianggap penting agar seni tradisi tidak punah dan tercerabut dari akar budaya setempat, di samping satu fakta bahwa kelangsungan hidup dan perkembangan yang dialami seni tradisi sangat tergantung pada generasi pendahulu ketika mewariskan dan memersiapkan generasi baru dalam menerima kemudian mengolah seni tradisi itu, maka wadah dan apresiasi mutlak perlu. 



Bukan Benda Mati
Seni adalah entitas yang terus berkembang dan mengalami pembaharuan. Karena memang fungsi seni adalah solusi pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam mengekspresikan keindahan dan kegembiraan. Termasuk seni tradisi yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi berbeda jaman, agar seni tersebut tetap bisa diterima masyarakat yang plural dan multibudaya. Hal ini bisa dilihat dari masuknya jenis alat musik, kostum dan koreo yang ditampilkan penyaji seni tradisi. Tetapi, meskipun sudah tersentuh modernitas, seni tradisi tidak kehilangan esensi.
Di Pendapa Ageng itu, sajian seni tradisi yang disuguhkan menjadi pembuktian bahwa wacana tentang tergerusnya kesenian tradisional oleh kesenian modern barangkali perlu dikonstruksikan lagi. Memang sejak memasuki abad 20 hingga era sekarang, kesenian tradisi terus berjuang bertahan dari pengaruh budaya luar yang agresif dan ekspansif. Sekadar contoh: drama Korea, sinetron atau kelompok musik dari luar yang kehadirannya sangat sulit ditolak atau dihindari. Tetapi mereka, para pelaku seni tradisi itu, tetap memiliki kesadaran bahwa kesenian adalah daya hidup. Eksistensi dan bentuk ekspresi atas penyatuan diri dengan alamnya, dengan hidupnya.
Masih tetap mengagumkan bahwa rasa indah yang terkandung dalam jiwa (masyarakat) melaui perantara alat-alat komunikasi, sudah terejawantah ke dalam bentuk aneka ragam keindahan yang bisa dinikmati oleh indera pendengaran melalui seni vocal, gerak tubuh dalam seni tari atau seni peran, juga oleh indra penglihatan lewat seni lukis dan instalasi.



Geografis dan Historis
Walaupun sudah terpengaruh moderintas, tetap masih bisa ditangkap dari pentas malam itu, bahwa masing-masing seni tradisi tetap mampu menampilkan ciri khas-nya. Seni yang lahir di pesisir sangat berbeda dengan seni tradisi yang dilahirkan di sekitar pusat pemerintahan (keraton) atau seni yang lahir dalam masyarakat petani dan rakyat jelata.
Banyumas, misalnya. Musik dan tarian tubuh menunjukkan khas-nya, dengan ayunan pinggul yang radikal dan hentakan pundak yang tegas, mengingatkan saya pada tokoh Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari). Seluruh tubuh mereka menari, termasuk mata yang sungguh ekspresif menatap penonton. Akan berbeda ketika Penari dari Solo menampilkan repertoarnya. Gerak tubuh yang terkesan berhati-hati dan mata penari itu jatuh ke lantai pendapa, atau sesekali memandang jauh tetapi tidak benar-benar menatap komunikatif pada penonton. Berbeda lagi dengan kesenian tradisi kerakyatan Gambang Semarang yang rencak. Sebuah bentuk tari yang menampakkan terintegrasinya budaya Tiongkok dan Jawa, di mana secara historis dua etnis tersebut sangat berkelindan di kota Semarang. Atau Cokek Sragenan yang mayoritas masyarakatnya adalah petani. Seni sebagai hiburan dan pelepas lelah ditampilkan dengan gerakan tari nan riang dan disisipi guyonan dengan penonton. Bahkan penari turun panggung dan mengajak beberapa penonton untuk menari bersama di atas panggung sehingga dialektika seni itu tercapai. Karena seni juga merupakan pesta milik rakyat, bukan monopoli kaum elit.  
Di tengah pementasan, di Pendapa Ageng yang terbuka itu beberapa kali saya menyaksikan seekor kelelawar terbang riang, menyusup gugup di antara suara musik sigrak dan gerak atraktif para penari. Seakan binatang malam itu turut larut dalam kegembiraan semesta. Menjadi saksi bahwa Seni Tradisi tetap berdaya di tengah krisis budaya. Itu adalah anugerah keindahan yang saya nikmati di malam yang semakin gerah dan hujan tetap tidak turun. Langit hanya mengirim tipis gerimis saja. []


 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar