Fotografer : Budi Santosa (Sanggar Seni Kemasan)
Malam
itu gerah sekali. Hujan urung turun ke Bumi meski sudah mengabarkan hadirnya
dengan gerimis tipis dan mendung hitam menggantung di langit Solo. Atas
undangan seorang teman, malam itu saya duduk di salah satu kursi di Pendapa
Ageng Taman Budaya Jawa Tengah yang megah dengan pilar-pilar berukir dan
lampu-lampu gantung nan klasik. Dekorasi bernuansa hitam dengan ornament bambu
dan seperangkat gamelan serta alat musik tradisional Jawa sudah tertata di
panggung.
Semua
kursi yang disediakan sudah terisi penuh, bahkan ada yang duduk meleseh di
samping kanan dan kiri panggung ketika suara gong menggema pertanda acara akan
dimulai. Malam itu sedang digelar pembukaan Festival Seni Tradisi Jawa tengah
2015 yang berlangsung mulai 26 – 29 Mei dengan menghadirkan 15 kelompok seni
dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Tengah antara lain Kendal, Semarang,
Banyumas, Pati, Batang, Purbalingga, Magelang, Klaten, Sukaharjo, Sragen dan
Solo sebagai tuan rumah. Pentas musik, tari dan teater tradisional yang
dipentaskan pada tahun ini mengambil tema: Folklore Nusantara. Dalam Festival
ini, bukan hanya musik, tari dan seni peran saja yang ditampilkan, tetapi juga
seni lukis.
Sebuah
agenda seni yang beriktiar menghidupi dan mengembangkan kesenian tradisi agar
tetap dimiliki oleh masyarakat di mana kesenian itu dilahirkan, bersumber dan
berakar. Hal ini dianggap penting agar seni tradisi tidak punah dan tercerabut
dari akar budaya setempat, di samping satu fakta bahwa kelangsungan hidup dan
perkembangan yang dialami seni tradisi sangat tergantung pada generasi
pendahulu ketika mewariskan dan memersiapkan generasi baru dalam menerima
kemudian mengolah seni tradisi itu, maka wadah dan apresiasi mutlak
perlu.
Bukan
Benda Mati
Seni
adalah entitas yang terus berkembang dan mengalami pembaharuan. Karena memang
fungsi seni adalah solusi pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam mengekspresikan
keindahan dan kegembiraan. Termasuk seni tradisi yang diwariskan turun temurun
dari generasi ke generasi berbeda jaman, agar seni tersebut tetap bisa diterima
masyarakat yang plural dan multibudaya. Hal ini bisa dilihat dari masuknya
jenis alat musik, kostum dan koreo yang ditampilkan penyaji seni tradisi.
Tetapi, meskipun sudah tersentuh modernitas, seni tradisi tidak kehilangan
esensi.
Di
Pendapa Ageng itu, sajian seni tradisi yang disuguhkan menjadi pembuktian bahwa
wacana tentang tergerusnya kesenian tradisional oleh kesenian modern barangkali
perlu dikonstruksikan lagi. Memang sejak memasuki abad 20 hingga era sekarang,
kesenian tradisi terus berjuang bertahan dari pengaruh budaya luar yang agresif
dan ekspansif. Sekadar contoh: drama Korea, sinetron atau kelompok musik dari
luar yang kehadirannya sangat sulit ditolak atau dihindari. Tetapi mereka, para
pelaku seni tradisi itu, tetap memiliki kesadaran bahwa kesenian adalah daya
hidup. Eksistensi dan bentuk ekspresi atas penyatuan diri dengan alamnya,
dengan hidupnya.
Masih
tetap mengagumkan bahwa rasa indah yang terkandung dalam jiwa (masyarakat)
melaui perantara alat-alat komunikasi, sudah terejawantah ke dalam bentuk aneka
ragam keindahan yang bisa dinikmati oleh indera pendengaran melalui seni vocal,
gerak tubuh dalam seni tari atau seni peran, juga oleh indra penglihatan
lewat seni lukis dan instalasi.
Geografis
dan Historis
Walaupun
sudah terpengaruh moderintas, tetap masih bisa ditangkap dari pentas malam itu,
bahwa masing-masing seni tradisi tetap mampu menampilkan ciri khas-nya. Seni
yang lahir di pesisir sangat berbeda dengan seni tradisi yang dilahirkan di
sekitar pusat pemerintahan (keraton) atau seni yang lahir dalam masyarakat
petani dan rakyat jelata.
Banyumas,
misalnya. Musik dan tarian tubuh menunjukkan khas-nya, dengan ayunan pinggul
yang radikal dan hentakan pundak yang tegas, mengingatkan saya pada tokoh
Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari). Seluruh tubuh mereka
menari, termasuk mata yang sungguh ekspresif menatap penonton. Akan berbeda
ketika Penari dari Solo menampilkan repertoarnya. Gerak tubuh yang terkesan
berhati-hati dan mata penari itu jatuh ke lantai pendapa, atau sesekali
memandang jauh tetapi tidak benar-benar menatap komunikatif pada penonton.
Berbeda lagi dengan kesenian tradisi kerakyatan Gambang Semarang yang rencak.
Sebuah bentuk tari yang menampakkan terintegrasinya budaya Tiongkok dan Jawa,
di mana secara historis dua etnis tersebut sangat berkelindan di kota Semarang.
Atau Cokek Sragenan yang mayoritas masyarakatnya adalah petani. Seni sebagai
hiburan dan pelepas lelah ditampilkan dengan gerakan tari nan riang dan
disisipi guyonan dengan penonton. Bahkan penari turun panggung dan mengajak
beberapa penonton untuk menari bersama di atas panggung sehingga dialektika
seni itu tercapai. Karena seni juga merupakan pesta milik rakyat, bukan monopoli
kaum elit.
Di
tengah pementasan, di Pendapa Ageng yang terbuka itu beberapa kali saya
menyaksikan seekor kelelawar terbang riang, menyusup gugup di antara suara
musik sigrak dan gerak atraktif para penari. Seakan binatang malam itu turut
larut dalam kegembiraan semesta. Menjadi saksi bahwa Seni Tradisi tetap berdaya
di tengah krisis budaya. Itu adalah anugerah keindahan yang saya nikmati di
malam yang semakin gerah dan hujan tetap tidak turun. Langit hanya mengirim
tipis gerimis saja. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar