“Rakyat harus tahu
sejarah”. Sikap berpikir Maxim Gorki yang sangat politis ini cukup
menggugah kesadaran. Ia mengidealkan bahwa rakyat dari status sosial mana pun
wajib mengetahui asal usul berikut peristiwa-peristiwa yang melatari keberadaan
dirinya, baik pahit maupun manis. Tanpa pemahaman dan pengetahuan cukup akan
sejarah diri yang tak lepas dari tempatnya ber-Diri, mustahil rakyat bisa
menyintai serta bangga terhadapnya.
Rupanya, persis pada tujuan inilah
perayaan hari jadi ke-270 itu, Solo menggelar sebuah acara spektakuler pada 21
Februari 2015. Upaya untuk tetap konsisten pada klaim sebagai kota budaya,
sangat layak untuk diapresiasi. Bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat
dan institusi dan terutama Keraton yang dalam perhelatan ini
menjadi tokoh utama, Solo melibatkan 270 seniman tari profesional dan 560
penari pendukung baik anak-anak maupun dewasa menyatu dengan warga, menyemarak
di sepanjang jalan Jendral Soedirman.
Jalan besar yang diapit
bangunan-bangunan kuna dan bersejarah itu ditata menjadi panggung terbuka yang
bukan hanya artistik, tetapi juga ideal. Ornamen-ormanen yang sebelumnya
bertemakan perayaan Imlek -serbamerah di lokasi yang sama, sudah diganti dengan
dekorasi tradisional Jawa yang didominasi batik dan seni kreasi bambu.
Solo, tempat para maestro seni budaya
memandaikan diri, mengasah daya kritis dan kreatifitasnya telah berhasil
menyuguhkan peristiwa sejarah yang dihadirkan melalui pentas tari secara
kolosal. Dengan koreografer Agung Kusumo Widagdo, tari yang berjudul Adeging Kutha Sala
(Berdirinya Kota Solo) ini terasa begitu agung dan total. Dan yang lebih
penting, peristiwa bersejarah yang divisualisasikan itu sangat mudah diterima
dan ditangkap oleh awam.
Kisah bermula ketika Keraton Kartasura
diserang oleh Pasukan Sunan Kuning pada masa tahta Sri Susuhunan Paku Buwono
II. Kekalahan pada pihak Kartasura itu membuat raja mengambil keputusan untuk
menyingkir ke Ponorogo. Kemudian Paku Bowono II melakukan penyerangan balik dan
Kartasura bisa direbut kembali meski dalam keadaan luluh lantak.
Menyadari kerajaanya luluh lantak,
raja memerintah Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo untuk mencari
lokasi yang akan digunakan sebagai ibu kota kerajaan yang baru. Maka,
dipilihkan Desa Sala yang terletak 20 Km dari Kartasura. Di tepi sungai besar
yang kelak disebut Bengawan Solo.
Keputusan untuk berpindah lokasi dari
Kartasura ke Desa Sala, adalah perjuangan dan kerja keras yang melibatkan
tangan-tangan rakyat kecil. Desa kecil yang masa itu dipimpin oleh Ki Gedhe
Sala, pada mulanya berupa rawa. Di situlah secara serentak dengan bergotong
royong, mereka membangun ibukota kerajaan yang baru pada tahun 1745.
Maka, boyongan dalam pentas Adeging Kutha Sala
ini pun diragakan seperti yang terjadi 270 tahun lalu. Paku Buwono II yang
diperankan oleh Wahyu Santosa Prabowo, memimpin para prajurit dan abdi dalem
lengkap dengan uba rampe, diikuti seluruh rakyatnya dengan membawa semua harta
kekayaan yang tersisa. Sepasang pohon beringin, replika seperangkat gamelan, 17
macam jenang, tiga pasang loro blonyo (Pengantin Jawa). Satwa dalam bentuk
patung di antaranya kera, singa, gajah, ayam sejodoh turut diarak dari
koridor Ngarsapura menuju ke titik perhelatan.
Setiap babak dalam pertunjukan itu
dari mulai merintis hingga menjadi kota yang nyaman huni memberi informasi
penting bahwa kota tidak dengan tiba-tiba saja menjadi “ada” seperti sedia
kala, tetapi melalui perjuangan yang panjang dan berat. Rakyat tahu, pemimpin mereka
akan menjamin hak hidupnya. Pemimpin tahu, bahwa sebuah kerajaan, sebuah
pemerintahan tidak akan menjadi kuat dan bertahan tanpa rakyat kecil.
Sebuah kisah sejarah yang bagus untuk
mengajak warga menjadi tahu bahwa antara rakyat kecil dengan pemimpin
harus ada dialektika dan rasa saling percaya. Itu menjadi modal utama ketika
kota ini mulai dibangun 270 tahun yang lalu.
Namun sangat
disayangkan kalau pertunjukan seindah itu tidak bisa disimak dengan baik dan
utuh karena pemerintah tidak menyediakan layar proyeksi yang merekam setiap
babak pertunjukan sementara area sekitar panggung tak cukup menampung warga
yang berduyun. Tentu akan lebih tersampaikan lagi seandainya di beberapa titik
disediakan layar lebar. Sehingga warga yang tidak kebagian tempat di dekat
panggung, tetap bisa menyaksikan tanpa perlu saling desak.
Tetapi secara garis besar, adalah
gagasan bagus saat pemerintah kota menghadiahi warganya di hari ulang tahun ke
270 ini dengan mengajak belajar sejarah melalui seni tari. Kecerdasan koreografer
dan para seniman yang terlibat dalam menggambarkan sejarah berdirinya kota
untuk masyarakat awam bisa dikatakan tepat sasaran.
Warga bukan hanya terhibur, tetapi
juga menjadi paham akan sejarah kotanya. Diharapkan dengan mengenal dan
mengetahui sejarah itu, warga semakin menyintai kota ini dan menumbuhkan rasa
bangga serta rasa memiliki yang pada gilirannya, warga akan menjaga keamanan
dan kenyamanan kota. Semoga. []
Fotografer : Daniel La (Dokumentasi Komunitas
Wisma Seni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar