Dengarkanlah

Selasa, 23 Juni 2015

Adeging Kutha Sala, Sebuah Kado Untuk Warga Solo






Rakyat harus tahu sejarah”. Sikap berpikir Maxim Gorki yang sangat politis ini cukup menggugah kesadaran. Ia mengidealkan bahwa rakyat dari status sosial mana pun wajib mengetahui asal usul berikut peristiwa-peristiwa yang melatari keberadaan dirinya, baik pahit maupun manis. Tanpa pemahaman dan pengetahuan cukup akan sejarah diri yang tak lepas dari tempatnya ber-Diri, mustahil rakyat bisa menyintai serta bangga terhadapnya.
Rupanya, persis pada tujuan inilah perayaan hari jadi ke-270 itu, Solo menggelar sebuah acara spektakuler pada 21 Februari 2015. Upaya untuk tetap konsisten pada klaim sebagai kota budaya, sangat layak untuk diapresiasi. Bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat dan institusi dan terutama   Keraton yang dalam perhelatan ini menjadi tokoh utama, Solo melibatkan 270 seniman tari profesional dan 560 penari pendukung baik anak-anak maupun dewasa menyatu dengan warga, menyemarak di sepanjang jalan Jendral Soedirman. 
Jalan besar yang diapit bangunan-bangunan kuna dan bersejarah itu ditata menjadi panggung terbuka yang bukan hanya artistik, tetapi juga ideal. Ornamen-ormanen yang sebelumnya bertemakan perayaan Imlek -serbamerah di lokasi yang sama, sudah diganti dengan dekorasi tradisional Jawa yang didominasi batik dan seni kreasi bambu.  
Solo, tempat para maestro seni budaya memandaikan diri, mengasah daya kritis dan kreatifitasnya telah berhasil menyuguhkan peristiwa sejarah yang dihadirkan melalui pentas tari secara kolosal. Dengan koreografer Agung Kusumo Widagdo, tari yang berjudul Adeging Kutha Sala (Berdirinya Kota Solo) ini terasa begitu agung dan total. Dan yang lebih penting, peristiwa bersejarah yang divisualisasikan itu sangat mudah diterima dan ditangkap oleh awam. 



Kisah bermula ketika Keraton Kartasura diserang oleh Pasukan Sunan Kuning pada masa tahta Sri Susuhunan Paku Buwono II. Kekalahan pada pihak Kartasura itu membuat raja mengambil keputusan untuk menyingkir ke Ponorogo. Kemudian Paku Bowono II melakukan penyerangan balik dan Kartasura bisa direbut kembali meski dalam keadaan luluh lantak.
Menyadari kerajaanya luluh lantak, raja memerintah Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo untuk mencari lokasi yang akan digunakan sebagai ibu kota kerajaan yang baru. Maka, dipilihkan Desa Sala yang terletak 20 Km dari Kartasura. Di tepi sungai besar yang kelak disebut Bengawan Solo.  
Keputusan untuk berpindah lokasi dari Kartasura ke Desa Sala, adalah perjuangan dan kerja keras yang melibatkan tangan-tangan rakyat kecil. Desa kecil yang masa itu dipimpin oleh Ki Gedhe Sala, pada mulanya berupa rawa. Di situlah secara serentak dengan bergotong royong, mereka membangun ibukota kerajaan yang baru pada tahun 1745.
Maka, boyongan dalam pentas Adeging Kutha Sala ini pun diragakan seperti yang terjadi 270 tahun lalu. Paku Buwono II yang diperankan oleh Wahyu Santosa Prabowo, memimpin para prajurit dan abdi dalem lengkap dengan uba rampe, diikuti seluruh rakyatnya dengan membawa semua harta kekayaan yang tersisa. Sepasang pohon beringin, replika seperangkat gamelan, 17 macam jenang, tiga pasang loro blonyo (Pengantin Jawa). Satwa dalam bentuk patung di antaranya  kera, singa, gajah, ayam sejodoh turut diarak dari koridor Ngarsapura menuju ke titik perhelatan.
Setiap babak dalam pertunjukan itu dari mulai merintis hingga menjadi kota yang nyaman huni memberi informasi penting bahwa kota tidak dengan tiba-tiba saja menjadi “ada” seperti sedia kala, tetapi melalui perjuangan yang panjang dan berat. Rakyat tahu, pemimpin mereka akan menjamin hak hidupnya. Pemimpin tahu, bahwa sebuah kerajaan, sebuah pemerintahan tidak akan menjadi kuat dan bertahan tanpa rakyat kecil.
Sebuah kisah sejarah yang bagus untuk mengajak warga menjadi tahu bahwa antara  rakyat kecil dengan pemimpin harus ada dialektika dan rasa saling percaya. Itu menjadi modal utama ketika kota ini mulai dibangun 270 tahun yang lalu. 



         
Namun sangat disayangkan kalau pertunjukan seindah itu tidak bisa disimak dengan baik dan utuh karena pemerintah tidak menyediakan layar proyeksi yang merekam setiap babak pertunjukan sementara area sekitar panggung tak cukup menampung warga yang berduyun. Tentu akan lebih tersampaikan lagi seandainya di beberapa titik disediakan layar lebar. Sehingga warga yang tidak kebagian tempat di dekat panggung, tetap bisa menyaksikan tanpa perlu saling desak.  
Tetapi secara garis besar, adalah gagasan bagus saat pemerintah kota menghadiahi warganya di hari ulang tahun ke 270 ini dengan mengajak belajar sejarah melalui seni tari. Kecerdasan koreografer dan para seniman yang terlibat dalam menggambarkan sejarah berdirinya kota untuk masyarakat awam bisa dikatakan tepat sasaran.
Warga bukan hanya terhibur, tetapi juga menjadi paham akan sejarah kotanya. Diharapkan dengan mengenal dan mengetahui sejarah itu, warga semakin menyintai kota ini dan menumbuhkan rasa bangga serta rasa memiliki yang pada gilirannya, warga akan menjaga keamanan dan kenyamanan kota. Semoga. []

Fotografer : Daniel La (Dokumentasi Komunitas Wisma Seni)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar