Hujan kerap menjadi sumber inspirasi
bagi penyair ketika menggubah puisi, adalah musim yang dinanti oleh penduduk
lereng Merapi atau daerah pegunungan di tempat lain, untuk ditampung dan
menjadi penopang kehidupan. Tetapi hujan juga menjadi momok bagi sebagian besar
penduduk kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Menjadi penghambat
mobilitas bagi para pengejar profit. Tetapi bagi Mugiyono Kasido, penari
kontemporer yang bertempat tinggal di Pucangan Sukoharjo, hujan adalah alam
yang sedang berkesenian sehingga sangat pantas untuk dirayakan.
Melalui International Rain Festival,
(17-18 Januari 2015) Mugidance Community beserta seniman dan beberapa
budayawan penggagas termasuk di dalamnya adalah Suprapto Suryadharma (budayawan
solo), menggelar pesta seni di kampung Pucangan dengan mengajak dan melibatkan
masyarakat sekitar untuk merayakan hujan. Sebuah ajakan untuk terus mengingat
dan menganggap bahwa hujan adalah berkah tiada tara yang harus disyukuri.
Festival ini lahir dari kegelisahan ketika hujan direduksi kehadirannya.
Banyak seniman dalam dan luar negeri
yang bergabung. Antara lain Mexico, Italia, Jepang, Korea dan seniman-seniman
berdedikasi dari Bali, Ponorogo, Solo, Jogja dan sekitarnya. Aktor Pantomim
dari Jogja: Jemek Supardi, dan penari dari Jogja Martinus Miroto juga menjadi
bagian dari festival itu selain kolaborasi seniman luar negeri dengan seniman
Indonesia.
Hujan sudah turun deras sedari sore.
Bahkan saat acara digelar pun, gerimis turun tak juga berhenti hingga jauh
malam. Tetapi itu tidak menyurutkan penduduk dan pendatang untuk menyaksikan
pementasan. Mereka menggunakan payung, mengenakan mantel atau bahkan nekat
berdiri tanpa pelindung dari air yang sedang dipentaskan oleh alam
semesta.
Seni, termasuk tari
dan musik harus mendatangkan manfaat bagi warga setempat. Inilah yang sedang
diejawantahkan oleh para seniman dan budayawan tersebut. Kesenian tidak
selayaknya tinggal di menara gading yang sulit dijangkau oleh awam. Kesenian
sudah selayaknya dinikmati bahkan oleh lapisan masyarakat paling bawah sekali
pun. Sebab karya seni yang berbobot adalah hasil permenungan, penghayatan
tentang Tuhan, Masyarakat, Alam dan Lingkungan.
Maka, perwujudan dari
spirit itu adalah lapangan kecil dan becek di bawah barongan (rimbun
pohon bambu) dihadirkan menjadi panggung terbuka, beratap langit dan berlantai
semen. Pendapa (teras rumah) juga dijadikan panggung untuk langen sekar.
Kandang kebo (panggung sederhana menyerupai kandang ternak beratap dan tiang
penyangga) juga menjadi panggung untuk pementasan musik.
Seni berbobot tak
tereduksi hanya karena ditampilkan di lapangan terbuka, bukan gedung megah yang
asing bagi masyarakat awam. Di panggung alam, kesenian justru lebih reflektif
dan membumi. Begitu pendapat para penggagas International Rain Festival 2015.
Seni meruang menjangkau yang kecil. Musik dan tari sebagai salah satu agen
kebudayaan, mewujudkan perannya di ruang sosial. Festival Hujan adalah
menikmati anugerah alam dengan berkesenian.
Perkara seni (tari
dan musik) bagi para penggagas bukan melulu untuk unjuk eksistensi. Tetapi
menyadari peran dan fungsinya untuk membantu membangun masyarakat yang
berkebudayaan dan beradab. Sehingga pada Festival Hujan itu, yang dihadirkan
bukan sekadar unjuk kreasi, tetapi lebih merupakan penyembahan dan ucap syukur
atas berkah air. Yang mana zat tersebut adalah hidup. Bergerak di dalam tubuh
manusia, tubuh pepohonan dan di dalam nadi-nadi tanah untuk memberi kehidupan semua
yang berada di muka bumi. Air hidup di mana-mana. Bisa ramah bisa marah. Marah
yang konon dinamai bencana oleh sebagian manusia, tanpa melihat dan meneliti
atau bahkan abai pada sumber yang mereka sebut sebagai bencana.
Itulah sebabnya, pada
International Rain Festival itu, selain pentas musik dan tari, workshop tentang
pemanfaatan air juga digelar. Kaum peduli air itu mengajak masyarakat untuk
menghargai, menghormati daya dan hak hidup air sebagai “makluk” yang tak
seharusnya diabaikan apalagi dianggap sebagai ancaman.
Menyadari betul bahwa
setiap yang hidup membutuhkan air. Air mengajak manusia untuk terus berpikir.
[]
Foto : Dokumentasi Mugidance
Dimuat : Jawapos, Ruang Putih 25 Januari 2015
Foto : Dokumentasi Mugidance
Dimuat : Jawapos, Ruang Putih 25 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar