Dengarkanlah

Selasa, 23 Juni 2015

Tarian Hujan dan Para Pengabdi Kehidupan




Hujan kerap menjadi sumber inspirasi bagi penyair ketika menggubah puisi, adalah musim yang dinanti oleh penduduk lereng Merapi atau daerah pegunungan di tempat lain, untuk ditampung dan menjadi penopang kehidupan. Tetapi hujan juga menjadi momok bagi sebagian besar penduduk kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Menjadi penghambat mobilitas bagi para pengejar profit. Tetapi bagi Mugiyono Kasido, penari kontemporer yang bertempat tinggal di Pucangan Sukoharjo, hujan adalah alam yang sedang berkesenian sehingga sangat pantas untuk dirayakan.
Melalui International Rain Festival, (17-18 Januari 2015) Mugidance Community beserta seniman dan beberapa budayawan penggagas termasuk di dalamnya adalah Suprapto Suryadharma (budayawan solo), menggelar pesta seni di kampung Pucangan dengan mengajak dan melibatkan masyarakat sekitar untuk merayakan hujan. Sebuah ajakan untuk terus mengingat dan  menganggap bahwa hujan adalah berkah tiada tara yang harus disyukuri. Festival ini lahir dari kegelisahan ketika hujan direduksi kehadirannya.
Banyak seniman dalam dan luar negeri yang bergabung. Antara lain Mexico, Italia, Jepang, Korea dan seniman-seniman berdedikasi dari Bali, Ponorogo, Solo, Jogja dan sekitarnya. Aktor Pantomim dari Jogja: Jemek Supardi, dan penari dari Jogja Martinus Miroto juga menjadi bagian dari festival itu selain kolaborasi seniman luar negeri dengan seniman Indonesia.  











Hujan sudah turun deras sedari sore. Bahkan saat acara digelar pun, gerimis turun tak juga berhenti hingga jauh malam. Tetapi itu tidak menyurutkan penduduk dan pendatang untuk menyaksikan pementasan. Mereka menggunakan payung, mengenakan mantel atau bahkan nekat berdiri tanpa pelindung dari air yang sedang dipentaskan oleh alam semesta. 




Seni, termasuk tari dan musik harus mendatangkan manfaat bagi warga setempat. Inilah yang sedang diejawantahkan oleh para seniman dan budayawan tersebut. Kesenian tidak selayaknya tinggal di menara gading yang sulit dijangkau oleh awam. Kesenian sudah selayaknya dinikmati bahkan oleh lapisan masyarakat paling bawah sekali pun. Sebab karya seni yang berbobot adalah hasil permenungan, penghayatan tentang Tuhan, Masyarakat, Alam dan Lingkungan.
Maka, perwujudan dari spirit itu adalah lapangan kecil dan becek di bawah barongan (rimbun pohon bambu) dihadirkan menjadi panggung terbuka, beratap langit dan berlantai semen. Pendapa (teras rumah) juga dijadikan panggung untuk langen sekar. Kandang kebo (panggung sederhana menyerupai kandang ternak beratap dan tiang penyangga) juga menjadi panggung untuk pementasan musik.
Seni berbobot tak tereduksi hanya karena ditampilkan di lapangan terbuka, bukan gedung megah yang asing bagi masyarakat awam. Di panggung alam, kesenian justru lebih reflektif dan membumi. Begitu pendapat para penggagas International Rain Festival 2015. Seni meruang menjangkau yang kecil. Musik dan tari sebagai salah satu agen kebudayaan, mewujudkan perannya di ruang sosial. Festival Hujan adalah menikmati anugerah alam dengan berkesenian.
Perkara seni (tari dan musik) bagi para penggagas bukan melulu untuk unjuk eksistensi. Tetapi menyadari peran dan fungsinya untuk membantu membangun masyarakat yang berkebudayaan dan beradab. Sehingga pada Festival Hujan itu, yang dihadirkan bukan sekadar unjuk kreasi, tetapi lebih merupakan penyembahan dan ucap syukur atas berkah air. Yang mana zat tersebut adalah hidup. Bergerak di dalam tubuh manusia, tubuh pepohonan dan di dalam nadi-nadi tanah untuk memberi kehidupan semua yang berada di muka bumi. Air hidup di mana-mana. Bisa ramah bisa marah. Marah yang konon dinamai bencana oleh sebagian manusia, tanpa melihat dan meneliti atau bahkan abai pada sumber yang mereka sebut sebagai bencana.




Itulah sebabnya, pada International Rain Festival itu, selain pentas musik dan tari, workshop tentang pemanfaatan air juga digelar. Kaum peduli air itu mengajak masyarakat untuk menghargai, menghormati daya dan hak hidup air sebagai “makluk” yang tak seharusnya diabaikan apalagi dianggap sebagai ancaman. 
Menyadari betul bahwa setiap yang hidup membutuhkan air. Air mengajak manusia untuk terus berpikir. []

Foto     : Dokumentasi Mugidance
Dimuat : Jawapos, Ruang Putih 25 Januari 2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar